Kingdon181 Cyber Area
Rabu, 13 Juni 2012
Perjuangan Si Miskin Menggapai Ilmu
Pendidikan adalah hak semua anak bangsa karena mencerdaskan kehidupan
bangsa adalah salah satu amanat yang
tercantum dalam batang tubuh UUD 1945. Untuk memberikan hak anak bangsa itu
pemerintah telah berupaya menetapkan berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan
tersebut mengalami perubahan silih berganti mengiringi silih bergantinya
pejabat yang mengurusi bidang pendidikan. Hasilnya, saat ini telah ada wajib
belajar bagi anak bangsa tetapi hanya sampai jenjang sekolah menengah atas.
Membaca Singgalang Jumat,
(8/6/2012) dengan judul Gemi berangkat ke USU, Erni ke UI yang mengabarkan
tentang perjuangan anak bangsa dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi membuat saya merinding. Kenapa tidak,
begitu nyatanya ketimpangan perjuangan memperoleh pendidikan antara si miskin
dengan si kaya.
Bagi si kaya, kuliah di berbagai universitas ternama, bahkan universitas
luar negeri adalah hal yang mudah. Tanpa memikirkan biaya mereka tinggal
mendaftar dan menyelesaikan segala administrasi lantas menjadi mahasiswa.
Sementara bagi si miskin, jangankan untuk biaya kuliah, untuk biaya keberangkatan
saja mereka kocar-kacir dan bahkan harus berhutang dulu.
Berita tentang Gemi dan Erni adalah satu dari sekian kisah yang ada di
Harian Umum Singgalang. Dan, dengan
pemberitaan itu, anak bangsa yang berasal dari keluarga kurang mampu tersebut
mendapat berbagai bantuan dari para dermawan. Bantuan tersebut menjadi setetes
embun di padang pasir bagi si miskin. Andai tidak ada pemberitaan di Singgalang akankah si miskin tersebut
tetap bisa berangkat melanjutkan pendidikan?
Kisah Gemi dan Erni yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan membuat saya
teringat akan cerita nenek saya dahulu. Beliau bercerita bahwa dahulu di suatu nagari
pernah ada seorang anak yang memiliki otak cerdas. Hanya saja anak tersebut
berasal dari keluarga miskin. Orang tuanya hanyalah buruh tani dan tinggal di
gubuk. Kecerdasan anak tersebut memang diatas rata-rata kawan-kawannya. Oleh
karena itu, saat anak tersebut lulus pada sekolah yang setingkat dengan SLTA
pada masa kini, para pemuka masyarakat
yang ada di nagari tersebut berunding membicarakan bagaimana caranya agar si
anak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat nan lebih tinggi. Padahal bagi si
anak dan orang tuanya, lulus SLTA itu saja sudah lebih dari cukup.
Si anak tidak pernah meminta kepada orang tuanya, juga tidak pernah
merengek kepada mamaknya agar ia bisa melanjutkan pendidikan. Namun yang
terjadi pada saat itu adalah kepekaan mamak adat dan pemuka nagari dalam
merespon keunggulan dan potensi nan dimiliki si anak. Bagi mamak adat dan
pemuka nagari, keberadaan si anak dengan segala potensi yang dimilikinya
merupakan aset nagari nan harus dimaksimalkan.
Alhasil rundingan mendapat kesepakatan, kesepakatan nan bulek bisa
digolongkan nan pipih lah bisa dilayangkan, sadanciang bak basi saciok bak
ayam. Seluruh warga nagari menghimpun dana sesuai kemampuan masing-masing untuk
bekal si anak melanjutkan pendidikan. Sumbangan yang diberikan kepada si anak
sangat beragam, mulai dari sumbangan emas sampai pada sumbangan nasi bungkus
untuk bekal makan selama diperjalanan menuju tempat pendidikan. Masyarakat
tidak peduli si anak itu anak siapa, bagi mereka si anak adalah anak nagari,
milik mereka bersama. Sementara bagi si anak, perjalanannya meninggalkan nagari
bukan merupakan perjalanan pribadi melainkan perjalanan sebagai wakil nagari.
Bantuan yang dibawanya adalah amanah masyarakat nagari nan mesti
dipertanggungjawabkannya.
Jika menilik pada cerita masa lampau di atas, maka akan muncul berbagai
pandangan dan pendapat ketika kita melakukan perbandingan kondisi tersebut
dengan yang terjadi pada kekinian. Disatu sisi, kesepakatan rundingan yang
dilakukan seperti dalam cerita pada masa lampau tersebut tidak pernah lagi kita dengar pada saat ini. Hal ini mungkin
saja disebabkan karena perkembangan pola pikir masyarakat saat ini lebih
menjurus pada kehidupan individualis. Disisi lain, kita masih bisa bersyukur karena
kepedulian sosial masih ada bahkan telah menembus lintas batas nagari. Hanya
saja kepedulian nan lintas batas tersebut belum dikelola secara maksimal
sehingga masih berupa bantuan insidentil.
Meskipun demikian, calon mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu
masih dapat bersyukur karena ada Dompet Dhuafa Singgalang yang selama ini
selalu menjadi tumpuan akhir keluh kesah mereka untuk menggapai impian
melanjutkan pendidikan. Bantuan yang telah disalurkan Dompet Dhuafa Singgalang kepada
anak cerdas yang mendapat undangan dari berbagai perguruan tinggi memang sudah
cukup banyak. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah pemangku kebijakan
bidang pendidikan saat ada rakyatnya yang membutuhkan bantuan dana untuk
pendidikan?
Pemberitaan Singgalang yang selalu mengabarkan tentang perjuangan anak-anak
miskin dalam meraih mimpi untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan
tinggi seharusnya menjadi cambuk sindiran bagi pemangku kebijakan di bidang
pendidikan di negeri ini. Namun apa dapat dikata, gencarnya pemberitaan tersebut
tampaknya belum mampu menyindir pemimpin negeri ini secara maksimal, atau
jangan-jangan para pemimpin itu tidak pernah membaca pemberitaan tersebut.
Sindiran pemberitaan Singgalang tersebut kita katakan tidak maksimal,
karena sesungguhnya ada beberapa kabupaten/kota yang mulai sadar bahwa
anak-anak cerdas yang ada di daerah mereka adalah potensi bagi daerah. Hanya
saja, sistem birokrasi nan berbelit dalam mengurus bantuan tersebut yang
jumlahnya pun kadang ala kadar membuat keluarga anak-anak cerdas tersebut
mundur secara teratur. Lagi pula, tidak jarang mereka mesti berhutang untuk
biaya ongkos pulang pergi demi mengurus bantuan. Lantas, nanti setelah bantuan
keluar maka sekian persen harus mereka keluarkan untuk membayar hutang.
Ujung-ujungnya, jumlah bantuan nan tersisa pun tidak lagi cukup untuk biaya
mendaftar dan transportasi ke kampus yang mengundang mereka.
Mencermati kondisi ini, saya hanya bisa membayangkan negeri ini memiliki
alokasi khsusus untuk pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Namun
bayangan saya itu pun terbentur pada realita betapa banyaknya masyarakat di
negeri ini yang sesungguhnya mereka memiliki kecukupan ekonomi namun tidak
merasa malu untuk mengaku sebagai keluarga miskin. Nah, jika sudah begini maka
apalagi hendak dikata. Makin jauh panggang dari api bagi anak-anak miskin
negeri ini untu menjemput impian pendidikan tinggi mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar