Kingdon181 Cyber Area

Minggu, 03 Juni 2012

Maaf… Mak…!?


Cerpen DM. Thanthar

Nafas reformasi pun belum mampu mengatasi kebobrokan negeri ini. Keangkuhan tembok-tembok sosial yang memisahkan si kaya dengan si miskin makin mencakar langit. Akibatnya, orang-orang makin mudahnya menjual moral mereka hanya untuk mencari kekayaan, menumpuk-numpuk harta benda untuk suatu saat di pamerkan pada tamu-tamu yang berkunjung ke rumahnya, walaupun tetangganya akan mati kelaparan.
Semakin hari, semakin banyak makhluk yang disebut manusia itu terjerumus manjadi kaum pemuja harta, pemuja dunia, dan menjadi budak dari apa yang mereka ciptakan sendiri. Mereka seakan lupa akan kodratnya, lupa darimana mereka berasal dan kemana mereka akan kembali setelah masa hidupnya yang singkat berakhir. Agaknya, bagi mereka, setelah mati habislah perkara.
Aku tidak sepaham dengan mereka. Bagiku, persoalan hidup tidaklah semudah itu. Lingkaran hidup makhluk memang sederhana. Lahir, tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan kemudian mati. Kira-kira seperti itulah lingkaran kehidupan yang utuh. Kalaupun lingkaran kehidupan itu tidak utuh, maka tetap kematian yang menjadi muaranya.

Yang aku tahu, kematian itu adalah usainya suatu perkara, tapi setelah itu perkara lainnya telah siap pula menunggu untuk dihadapi. Artinya, antara perkara yang satu dengan perkara lainnya merupakan sebuah siklus yang berkesinambungan. Bagaimana pun manusia berusaha memutuskan rantai-rantai siklus itu tetapi siklus itu tidak akan pernah terputus. Akhir-akhir ini, sepertinya, banyak manusia yang berusaha mengingkari kodratnya, dan mereka merasa telah berhasil memutuskan siklus kehidupan yang diciptakan tuhan. Dan ketika aku katakan pada mereka bahwa mereka telah keliru, mereka malah marah dan aku diasingkan. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa mereka memperlakukanku seperti itu. Hal itulah yang selama ini menjadi polemik yang bergejolak dalam jiwaku.
“Sampai kapan kau akan bertahan dengan sikap dan pendirian seperti itu. Janganlah sok suci, sok alim, karena dengan sikap yang seperti itu berarti kau merintis jalan menuju keterasingan.” Suatu ketika seorang sahabatku yang bernama Dani pernah berkata begitu padaku.
“Ku akui, prinsip hidup yang kau pertahankan itu sangat bagus, sangat mulia. Tapi kau juga harus menyadari bahwa sekarang zaman sudah berubah, masa telah berganti. Jadi kalau kau tidak mencari tuah kepada yang menang dan meniru kepada yang sudah maka tidak akan ada perubahan dalam hidupmu.” Sambungnya.
Aku hanya diam, tapi memandangnya dengan tajam. Dia menghisap rokok, dan kemudian menghempaskan asapnya.
“Man, jangan terlalu banyak pertimbangan. Hidup ini hanya sekali setelah itu mati. Apa kau memang tidak ingin melakukan perubahan dalam hidupmu? Ingat Man, orang tuamu dan adik-adikmu di kampung sangat menumpukan harapan mereka padamu. Bagaimana mungkin kau bisa membantu biaya sekolah adik-adikmu, sedangkan untuk biaya hidupmu sendiri saja masih pas-pasan.” Dani berhenti sejenak dan aku masih saja diam.
“Aku tahu, aku bisa menebak isi fikiranmu, kau ingin mengatakan bahwa kau sudah merasa bahagia dengan hidup seperti ini. Tapi aku juga tahu, bahwa sebenarnya kau pun sangat ingin memiliki pekerjaan dan penghasilan yang lebih layak. Aku hanya mau katakan, paling tidak sebagai pertimbangan bagimu, bahwa jika kau tetap bersikeras hati mencari kerja hanya dengan mengandalkan keahlianmu dan ijazahmu saja maka kau akan tetap tertinggal. Bukankah kau sudah berkali-kali membuktikannya sendiri.” Ucapan Dani mulai mempengaruhiku, tapi aku tetap diam.
Jujur saja, dari dulu aku salut padamu. Kau rela hidup pas-pasan demi mempertahankan sesuatu yang kau sebut dengan prinsip hidup. Kau rela miskin harta demi kekayaan dan kemuliaan jiwa. Tapi cobalah kau renungkan lagi, apakah kekayaan dan kemuliaan jiwamu itu bisa membantu dan memberi kebahagiaan bagi keluargamu?”
Aku masih saja diam, namun memori usang mulai membentang di mataku.
***
Wajah ayah dan emak terbayang jelas di pelupuk mataku. Ayah yang telah semakin tua masih tetap gigih berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dulu, masih ada tanah yang bisa digarap ayah untuk sekedar kebutuhan sehari-hari, tapi kini tanah itu sudah tidak ada lagi, dijualnya demi keinginannya untuk bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana. Akibatnya, sekarang ayah harus menjadi buruh tani. Sehari-hari ia bekerja di sawah dan ladang orang lain dengan upah yang sangat jauh di bawah standar UMR. Untung saja emak bisa memahami kondisi itu dan tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang dihadapinya. Hanya saja di matanya nan bening terpancar harapan yang sangat besar kepadaku.
“Man, kau harus belajar dengan rajin. Tidak usah berfikir yang macam-macam, soal biaya untuk sekolahmu biar ayah dan emak yang memikirkannya. Mak tidak ingin nanti kau dan adik-adikmu hidup seperti ini juga. Kalian tidak boleh bodoh, kalian harus pintar, kalian harus jadi orang.” Demikian nasihat emak saat aku masih sekolah dulu. Dan aku hanya diam.
“Kalau kau sudah berhasil nanti, maka kau tentu akan bisa pula membentu biaya sekolah adik-adikmu.”
“Iya Mak.” Jawabku singkat, ketika itu.
***
“Hei, Man...!! Kok malah melamun.” Dani memangkas lamunanku. “Ini kesempatanmu untuk bisa menjadi pegawai pemerintahan. Jangan kau tolak lagi seperti yang sudah-sudah. Kalau masalah amplop, tidak perlu kau fikirkan, biar aku yang bantu. Kau sahabat karibku, bahkan sudah seperti saudara bagiku. Dulu, kalau bukan karena bantuanmu mungkin aku sudah gagal jadi sarjana dan belum tentu bisa sukses seperti sekarang. Aku hanya ingin membantumu Man, sungguh.”
“Aku masih bimbang Dan. Haruskah aku ikut terseret dalam arus birokrasi busuk yang sangat bertentangan dengan jiwaku, bertentangan dengan kata hatiku?” Akhirnya aku menjawab.
“Kondisi yang ada saat ini memang seperti itu kawan. Kita tidak bisa mengingkarinya. Apalagi kita sekarang sudah bukan mahasiswa lagi. Jadi aku pikir bolehlah tidak terlalu idealis lagi. Saat ini kondisi yang kita hadapi sudah berbeda, sudah banyak yang menjadi pertimbangannya. Masa depan kita, keluarga kita, dan juga harapan-harapan orang tua yang telah menghabiskan sekian banyak biaya untuk kita selama ini.” Kata Dani.
“Maksudmu, apakah kita harus melakukan apa yang dulu kita haramkan? Aku tidak bisa seperti itu Dan.”
“Bukan begitu. Aku hanya berfikir sederhana saja, daripada orang yang bermental busuk dan bobrok yang diterima lebih baik orang dengan sifat yang baik. Kau mungkin tidak sadar bahwa dengan penolakan-penolakan yang pernah kau lakukan, secara tidak langsung, kau telah memberi kesempatan bagi mereka yang serakah untuk menggerogoti luka negeri yang telah bernanah. Sementara, andai kau berada di dalam struktur itu, paling tidak kau bisa ikut meminimalisir kebobrokan itu walaupun tidak akan bisa menghentikan sepenuhnya.” Ujar Dani.
“Tapi yang jadi persoalannya, mengapa harus diawali dengan cara yang salah Dan?”
“Ya sudahlah, aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padamu. Sebagai sahabatmu aku hanya ingin mengingatkan bahwa sudah puluhan kali kau tolak kesempatan yang datang padamu. Kau tidak akan pernah tahu berapa kesempatan lagi yang menjadi jatahmu. Jika kesempatan saat ini merupakan kesempatan yang terakhir, maka jangan pernah kau sesali dikemudian hari. Yang pasti, aku tahu betul bahwa kau adalah tumpuan harapan orang tuamu.”
Kebimbangan makin memuncak dalam jiwaku. Keinginan untuk mewujudkan harapan orang tua dan keinginan mempertahankan prinsip hidup saling seret-menyeret. Salah satu pilihan sepertinya akan menumbalkan pilihan lainnya. Jika saran Dani yang ku perturutkan maka tergadailah rasanya moral dan jiwaku, akan menjadi tumbal dan hancur leburlah prinsip hidup yang telah kubangun bertahun-tahun. Tapi jika prinsip hidup yang aku pertahankan, maka harapan orang tuaku yang akan menjadi tumbal dan entah kapan aku bisa mewujudkan harapan mereka.
Aku benar-benar sulit untuk mengambil keputusan. Bahkan setelah Dani pergi pun aku masih saja bergelut dengan kebimbangan. Pertimbangan-pertimbangan yang tadi diucapkan Dani terngiang-ngiang silih berganti. Dani lah satu-satunya sahabatku yang tidak pernah bosan mengunjungiku dan memberi pertimbangan. Padahal kawan-kawan yang lain telah menghilang begitu saja. Mungkin mereka muak dengan sikapku yang katanya keras kepala, sok alim, sok suci, dan sok idealis. Sementara aku sendiri tidak begitu paham dengan semua yang mereka tuduhkan padaku itu.
Pada dasarnya aku hanya tidak ingin ikut menjadi golongan orang-orang yang suka menjilat ludah sendiri. Dulu, kami yang berteriak dan menuntut agar negeri ini bersih dari segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tapi, nyatanya sekarang, kawan-kawan yang dulu sama-sama berteriak itu malah pasrah pada keadaan dan ikut menjadi aktor penting dalam menyuburkan sistem suap-menyuap. Alasan mereka paling-paling karena terdesak oleh keadaan. Wajar saja kalau muncul kesan bahwa yang suka berteriak itu adalah orang-orang yang iri dan belum mendapat kesempatan. Sempat terfikir olehku, jangan-jangan memang begitu adanya?
Aku pandangi dinding ruangan yang putih polos. Warna putih sering dianggap sebagai simbol sesuatu yang bersih, lambang kesucian. Namun bagiku lambang kesucian itu adalah bayi, bukan sebuah warna apa pun. Warna hitam tanpa bercak putih juga akan terlihat bersih tapi belum tentu suci. Demikian juga halnya dengan warna-warna lainnya. Sukar untuk mengetahui apa yang ada di balik tiap-tiap warna itu. Lain halnya dengan bayi. Seorang bayi, walau memiliki cacat di tubuhnya, atau hasil hubungan haram sekali pun, bayi itu tetap bersih dan suci.
Ah, aku tidak peduli dengan semua itu. Yang pasti aku masih terombang-ambing antara ya dan tidak. Semakin kucerna ucapan-ucapan Dani, maka makin menggunung pula rasa muakku akan realitas hidup saat ini. Aku benar-benar heran, apakah benar-benar tidak ada lagi secuil tempat saja untuk berkembangnya sesuatu yang disebut kejujuran? Jika benar demikian, maka Dani lah yang menang. Tapi aku tidak sepenuhnya kalah. Sebuah keputusan sudah menggumpal dan aku sangat yakin dengan keputusan itu. Dalam hati aku berbisik, lemah. “Maaf Mak..!?”.
***
Maninjau, 04.08.’08

Tidak ada komentar:

Dream Motorcycle

Dream Motorcycle
Suzuki
Powered By Blogger