Kingdon181 Cyber Area

Rabu, 27 Agustus 2008

WAJAH MANINJAU DI LIDAH TINTA





Maninjau Padi Lah Masak
Batang Kapeh Batimba Jalan
Hati Risau Dibaok Galak
Bak Cando Paneh Manganduang Hujan.

Maninjau terletak di pinggir sebuah danau, yang juga disebut sebagai Danau Maninjau. Penamaan daerah Maninjau mencakup seluruh nagari-nagari yang ada di salingka Danau Maninjau. Namun penggunaan kata Maninjau secara administratif menunjukkan pada wilayah Kecamatan Tanjung Raya. Akan tetapi, jika disebutkan Nagari Maninjau maka itu akan menunjuk pada wilayah sebuah nagari yang terdapat di daerah Maninjau, yaitu Nagari Maninjau.
Secara astronomis, daerah Maninjau atau Kecamatan Tanjung Raya terletak antara 100 derjat­­ 05 BT-100 derjat 16 BT dan 0 derjat 12 LS-0 derjat 25 LS. Secara geografis Maninjau terdiri dari bukit-bukit, gunung-gunung, perairan danau, lereng perbukitan, dan hutan. Hutan yang terdapat di daerah ini adalah hutan rakyat yang banyak menghasilkan perkayuan, tumbuhan obat, kebun tanaman keras, dan sebagainya. Maninjau berada 471 meter di atas permukaan laut dan dikelilingi oleh gugusan bukit barisan sehingga menjadikannya berhawa sejuk. Suhu udara daerah Maninjau berkisar antara 27 derjat Celcius-30 derjat Celcius. Iklim seperti itu sangat mendukung pengembangan Maninjau sebagai daerah wisata. Hal tersebut ditunjang pula dengan keberadaan Danau Maninjau yang memiliki keindahan tersendiri.
Secara topografis, daerah Maninjau mempunyai permukaan bumi yang tidak rata atau bergelombang dan berbukit. Disamping itu, daerah Maninjau memiliki sungai-sungai yang mengalir ke Samudra Hindia salah satunya adalah Batang Antokan. Keberadaan Batang Antokan, dengan arusnya yang deras, sangat pontensial dikembangkan untuk objek wisata minat khusus dengan menjadikannya sebagai areal untuk melakukan kegiatan Arung Jeram.
Luas daerah wilayah Maninjau lebih kurang 150,76 Km2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman dan Kecamatan Lubuk Basung. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan IV Koto dan Kecamatan Matur. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Palembayan dan Kecamatan IV Nagari, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Geringging Kabupaten Padang Pariaman.
Sejak zaman penjajahan Kolonial Belanda, penduduk Maninjau sudah terkenal sebagai perantau yang hidup di kota-kota besar yang ada di Sumatra dan Jawa. Mobilitas penduduk Maninjau yang merantau terutama berasal dari kalangan generasi muda pada masa revolusi sehingga daerah Maninjau hanya dihuni oleh beberapa ratus kepala keluarga saja. Besarnya keinginan penduduk Maninjau untuk hidup dirantau disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah faktor tradisi. Pola kehidupan masyarakat Minangkabau, dengan sistem kekerabatan matrilinialnya, telah mendidik anak laki-laki untuk merenggangkan hubungan dirinya secara individu dengan rumah orang tuanya. Kamar-kamar dalam rumah orang tuanya hanya untuk anak perempuan saja. Tradisi merantau menjadi suatu pilihan yang cocok untuk laki-laki Minangkabau termasuk laki-laki di Maninjau. Faktor lainnya yang membuat penduduk Maninjau merantau adalah kondisi lingkungan yang relatif sempit karena permukaan tanahnya tediri dari tanah perbukitan yang terjal dan menghadap langsung ke pinggir danau. Daerah pertanian sawah basah dicetak secara bertingkat mengikuti kemiringan tanah. Sawah-sawah itu tentunya tidak luas sehingga produksi pertanian tidak maksimal dan tidak bisa dilakukan sistem Ekstensifikasi Pertanian (penambahan lahan baru). Selain faktor politik pada masa Orde Lama, penduduk Maninjau juga banyak yang merantau karena melanjutkan pendidikan di luar Maninjau.
Selain faktor tradisi, keadaan perekonomian juga merupakan alasan masyarakat Maninjau untuk pergi merantau. Keadaan perekonomian daerah Maninjau, dalam hubungannya dengan gejala merantau diungkapkan oleh Taufik Abdullah dalam karyanya yang berjudul Schools and Politics; The Kaum Muda Movement In West Sumatra (1927-1933).
“Pada tahun 1930-an Sub-distrik Maninjau merupakan daerah yang terisolir dari lalu lintas utama karena hubungan transportasi belum lancar. Maninjau ketika itu merupakan daerah yang jarang penduduknya, hanya ditempati oleh 71,1 orang per kilometer persegi; dan miskin akan sumber-sumber alam. Pendapatan penduduk yang berasal dari pertanian hanya sekitar 6,46 %; hasil-hasil pertanian lainnya seperti kina dan kopi hanya 10,30 %. Sumber income terbesar di Maninjau adalah di bidang perikanan danau, industri rumah tangga, dan perdagangan. Aktivitas merantau di Maninjau melebihi kegiatan merantau daerah lainnya di Minangkabau, karena daerah ini sangat tergantung pada profesi saudagar perantau. Setiap tahun, anak-anak dewasa yang berasal dari Maninjau selalu merantau dengan jalan menjadi anak-semang dari pendahulu-pendahulu mereka. Menurut sensus 1930, anak-anak yang berusia 15 tahun pada umunya hidup di rantau. Kekurangan tenaga usia kerja di Maninjau mengakibatkan sekitar 23,5 % kepala keluarga adalah wanita.” (Taufik Abdullah, 1971)
Berdasarkan gambaran di atas dapat dilihat bagaimana kondisi daerah Maninjau pada tahun 1930 yang masih terisolir dan miskin akan sumber daya alam. Hal tersebut menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat Maninjau untuk merantau. Setelah kemerdekaan daerah Maninjau sudah tidak begitu terisolir lagi karena sudah dibangunnya jalan-jalan yang menghubungkan antara Maninjau dan Bukittinggi. Namun demikian, kegiatan merantau tetap menjadi pilihan masyarakat Maninjau khususnya para generasi muda.
Pada tahun 1976 jumlah penduduk Maninjau meningkat menjadi 35.021 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk tersebut merupakan dampak upaya Pemerintah Sumatra Barat dalam memulihkan nama Minangkabau dari status pemberontak yang kalah pada tahun 1958. Harun Al Rasyid Zain sebagai Gubernur Sumatra Barat merangkul orang Minangkabau yang berada di perantauan supaya pulang ke kampung halaman untuk membangun nagari. Upaya Harun Al Rasyid Zain tersebut banyak membuahkan hasil sehingga orang Minangkabau kembali memiliki rasa percaya diri.
Pada tahun 1997-1998 terjadi krisis moneter di Indonesia sehingga ekonomi masyarakat Maninjau pun ikut mengalami penurunan. Mereka kembali memikirkan untuk mengadu nasib di rantau. Sampai tahun 2004 kondisi tersebut tidak jauh berbeda sehingga kembali terjadi penurunan jumlah penduduk. seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel: Jumlah Penduduk Kecamatan Tanjung Raya dan Tingkat Kepadatannya Tahun 1979-2004.
Tahun
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Tingkat Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
1979
17.434
19.619
37.053
246
1982
15.341
16.364
31.705
210
1998
15.897
17.174
33.071
135
2004
14.759
15.515
30.274
124
Sumber: Diolah dari data Agam Dalam Angka 1979, 1982, 1998, dan 2004.
Gejala merantau yang terdapat di Maninjau memiliki relevansi yang erat dengan kondisi daerah Maninjau. Areal pertanian di Maninjau makin lama makin berkurang karena banyaknya penduduk yang membangun rumah di areal pertanian. Luas areal pertanian sampai tahun 2004, terutama sawah dan ladang, secara keseluruhan adalah 4,534 hektar. Areal persawahan yang luas terdapat di dataran rendah VI Koto. Areal persawahan ini terbentang mulai dari tepian Danau Maninjau sampai ke daerah pemukiman penduduk.
Bagi penduduk Maninjau, merantau bukanlah berarti memutuskan hubungan dengan kampung asal mereka. Merantau hanyalah merupakan salah satu pilihan orang Maninjau dalam menyikapi kondisi daerah mereka yang kurang memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup pada Zaman Reformasi. Daerah perantauan merupakan tempat untuk meningkatkan perekonomian, sementara hasil yang mereka dapatkan di rantau akan kembali dibawa ke kampung asal. Hubungan antara perantau dengan kampung asal terbina dengan adanya acara Pulang Basamo para perantau pada saat-saat tertentu, seperti pada Hari Raya Lebaran. Hal itu paling tidak dilakukan oleh perantau sekali dalam setahun. Kegiatan pulang ke kampung asal bukan hanya untuk sekedar melepas kerinduan pada keluarga tetapi juga untuk membantu pembangunan kampung asal mereka, seperti pembangunan masjid, jalan raya, pendirian sekolah, Listrik Masuk Kampung, dan sebagainya. Kegiatan pulang kampung biasanya juga dilakukan untuk merayakan hari pengangkatan Penghulu atau untuk mengisi liburan sekolah.
Penduduk Maninjau sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani. Namun demikian, ada juga penduduk menangkap ikan di Danau Maninjau sebagai usaha sampingan. Ikan yang biasa ditangkap oleh penduduk adalah ikan Nila, Mujair, Supareh, Rinuak, dan jenis ikan air tawar lainnya. Selain itu penduduk Maninjau juga mengambil pensi dari danau. Hasil yang mereka dapatkan, selain digunakan untuk kebutuhan mereka sehari-hari juga mereka jual ke pasar-pasar di sekitar Kabupaten Agam.
Selain mengusahakan padi sawah penduduk Maninjau juga menanami ladang-ladang mereka dengan berbagai tanaman seperti pala, kopi, cengkeh, dan kulit manis. Pada tahun 1970 sampai tahun 1980-an budi daya tanaman cengkeh di Maninjau pernah memberi perubahan besar terhadap kehidupan penduduk Maninjau. Saat itu cengkeh dari Maninjau tidak hanya dikenal di Sumatra Barat, tetapi juga sampai ke luar daerah. Harga 1 kilogram cengkeh pada waktu itu setara dengan harga 7,5 gram emas. Akibatnya, pola kehidupan penduduk Maninjau berubah menjadi konsumtif. Namun demikian, kejayaan Mahoyak Cengkeh tidak berlangsung lama karena pada tahun 1980 tanaman cengkeh yang ada di Maninjau terkena hama penyakit sehingga produksi cengkeh di Maninjau mengalami penurunan yang drastis. Hal tersebut mengakibatkan perekonomian masyarakat Maninjau kembali mengalami kemerosotan sehingga semakin banyak penduduk Maninjau yang meninggalkan kampung halamannya.
Kepergian penduduk Maninjau ke luar kampung untuk melangsungkan aktivitas ekonomi mengakibatkan banyak rumah-rumah penduduk yang kosong di Maninjau. Sebagian penduduk yang memiliki rumah kosong di tepian Danau Maninjau memanfaatkan rumah mereka sebagai tempat penginapan. Usaha penginapan tersebut kemudian berkembang menjadi Homestay dan Hotel Melati.
A. Lintasan Sejarah dan Folklore Maninjau
Asal usul penamaan daerah Maninjau dan Danau Maninjau memiliki beberapa versi. Ada dua versi dari cerita rakyat yang masih berkembang dalam kehidupan penduduk Maninjau. Pertama, cerita yang menyatakan bahwa nenek moyang penduduk Maninjau berasal dari Luhak Nan Tigo di ranah Minang, terutama Luhak Tanah Data dan Luhak Agam. Para pemukim pertama yang berasal dari Luhak Nan Tigo itu datang ke Maninjau melalui daerah perbukitan Padang Galanggang, salah satu nagari yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Matur. Daerah perbukitan Padang Galanggang terletak pada ketinggian yang strategis dan tempat beristirahat sementara bagi pendatang. Mereka meninjau atau mengamati daerah dataran rendah di sebelah barat dari Padang Galanggang, sampai akhirnya mereka melihat adanya sebuah danau. Mereka mendatangi danau tersebut dan memberinya nama Danau Maninjau yang berasal dari proses “meninjau-meninjau” yang mereka lakukan. Kedua, kisah Bujang Sambilan yang menjelaskan asal usul nama nagari-nagari yang ada di salingka Danau Maninjau. Folklore ini mengisahkan bahwa daerah Maninjau pada masa dahulunya merupakan sebuah gunung yang bernama Gunung Tinjau. Menurut suatu cerita di lereng Gunung Tinjau ini hiduplah sepuluh orang bersaudara yatim piatu, yang paling bungsu perempuan bernama Siti Rasani. Sembilan orang lainnya adalah laki-laki yang diberi gelar Bujang Sambilan.
Siti Rasani menjalin hubungan cinta dengan Sigiran, anak Dt. Limbatang yang juga merupakan mamak Siti Rasani. Kisah cinta mereka ditentang oleh Bujang Sambilan dengan menyebarkan fitnah bahwa Siti Rasani dan Sigiran telah melakukan perbuatan zina. Untuk membuktikan ketidakbenaran fitnah tersebut maka Siti Rasani dan Sigiran menceburkan diri ke kawah Gunung Tinjau. Ketika itu terjadilah badai topan yang diiringi dengan meletusnya Gunung Tinjau sebagai penolakan jasad mereka yang tidak berdosa. Letusan Gunung Tinjau akhirnya membentuk gugusan bukit yang melingkar dan bekas kawahnya menjadi danau. Danau tersebut kemudian dinamakan Danau Maninjau karena diyakini berasal dari kawah Gunung Tinjau.
Selain itu, penamaan daerah dan nagari-nagari yang terdapat di salingka Danau Maninjau merupakan upaya untuk mengenang nama tokoh-tokoh yang ada dalam kisah Bujang Sambilan. Nagari Sungai Batang berasal dari nama Dt. Limbatang. Nagari Bayur berasal dari nama Panglimo Bayur. Tanjung Raya dari nama Panglimo Rayo. Nagari Koto Malintang berasal dari nama Panglimo Malintang. Tanjung Sani diambil dari nama Siti Rasani. Nagari Sigiran berasal dari nama Sigiran demikian juga halnya dengan nagari-nagari lainnya. Ada pun Bujang Sambilan dipercaya masyarakat Maninjau berubah menjadi ikan rayo yang tetap menghuni Danau Maninjau sampai sekarang.
Daerah Maninjau disebut juga dengan istilah Lubuak Danau Nan Sapuluah. Istilah Lubuak Danau Nan Sapuluah berdasarkan pada keberadaaan sepuluh buah koto yang terdapat di Salingka Danau Maninjau (Hamka, 1982). Sepuluh koto terdiri dari: Sungai Batang, Tanjung Sani, Maninjau, Bayur, Koto Baru, Koto Tinggi, Paninjauan, Koto Kaciak, Koto Gadang, dan Koto Malintang. Di antara sepuluh koto tersebut, Nagari Sungai Batang merupakan daerah yang pertama kali dijadikan tempat bermukim oleh pemukim-pemukim pertama yang datang ke daerah Maninjau. Daerah Sungai Batang dijadikan tempat bermukim pertama karena Nagari Sungai Batang memiliki dataran rendah yang lebih luas dibandingkan dengan daerah lainnya.
Pertambahan penduduk yang terjadi di Maninjau menyebabkan pola pemukiman penduduk mulai menyebar ke daerah lainnya yang ada di salingka Danau Maninjau. Penyebaran penduduk tersebut berlangsung untuk mencari lokasi baru untuk menambah areal pertanian dalam upaya meneruskan keberlangsungan hidup penduduk yang tidak dapat terpenuhi lagi oleh areal pertanian yang ada di Sungai Batang. Penyebaran masyarakat tersebut terus berlangsung sampai akhirnya terbentuklah sepuluh buah nagari sebagai tempat menetap penduduk.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, Maninjau ditetapkan sebagai salah satu wilayah Onder Afdeeling di bawah wilayah Afdeeling Agam. Wilayah Onder Afdeeling Distrik Maninjau mencakup daerah Matur, Palembayan, Lubuk Basung, sampai ke Tiku. Berkuasanya Pemerintahan Kolonial Belanda di Maninjau menyebabkan struktur pemerintahan nagari yang berlaku di Maninjau juga mengalami perubahan. Pemerintahan Kolonial Belanda membagi daerah Maninjau menjadi dua kelarasan yaitu kelarasan IV Koto dan kelarasan VI Koto (Gusti Asnan, 2006). Kelarasan IV Koto mencakup daerah-daerah yang berada di sebelah timur yaitu Nagari Tanjung Sani, Nagari Sungai Batang, Nagari Maninjau, dan Nagari Bayur. Kelarasan VI Koto mencakup daerah-daerah yang ada di sebelah barat dan utara yaitu Nagari Koto Baru, Nagari Koto Tinggi, Paninjauan, Koto Kaciak, Koto Gadang, dan Koto Malintang. Masing-masing kelarasan tersebut diperintah oleh seorang Tuanku Lareh dan pada tiap-tiap nagari diangkat seorang Penghulu Kepala. Tuanku Lareh IV Koto berkedudukan di Sungai Batang dan Tuanku Lareh VI Koto berkedudukan di Koto Kaciak.
Keberadaan Tuanku Lareh dan Penghulu Kepala (Angku Palo) merupakan sarana penghubung antara pemerintah Kolonial Belanda dengan rakyat jajahannya. Tuanku Lareh dan Angku Palo merupakan perpanjangan tangan pemerintahan Kolonial Belanda untuk menguasai ruang lingkup terkecil terhadap masyarakat yang berada dalam wilayah jajahannya.
Pada tahun 1914 pemerintah Belanda menghapuskan jabatan Tuanku Lareh sebagai kepala adat federasi nagari dan menggantinya dengan jabatan Demang. Perubahan yang terjadi dalam struktur pemerintahan Kolonial Belanda ini juga menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur pemerintahan yang berlaku di Maninjau. Dalam hirarkinya, di bawah Demang terdapat Asisten Demang. Kedemangan Maninjau memiliki empat asisten demang yaitu di Maninjau, Palembayan, Matur, dan Lubuk Basung.
Pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, bekas daerah Afdeeling Agam diubah menjadi Kabupaten Agam yang terdiri dari tiga kewedanaan yaitu Kewedanaan Agam Tuo, Kewedanaan Maninjau, dan Kewedanaan Talu. Pada tahun 1949, berdasarkan SK Gubernur Militer Sumatra Tengah No. 171 tahun 1949, daerah Kabupaten Agam diperkecil yaitu dengan memindahkan Kewedanaan Talu ke dalam wilayah Kabupaten Pasaman dan mengalihkan beberapa nagari yang ada di sekitar Kota Bukittinggi ke dalam wilayah administratif Kotamadya Bukittinggi. Keputusan Gubernur Militer Sumatra Tengah dikukuhkan dengan UU No. 12 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II. Dengan demikian, maka daerah Maninjau tetap menjadi bagian daerah Tingkat II Kabupaten Agam sampai sekarang.
Pada tahun 1979 pemerintahan Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 5/1979 yang menetapkan desa sebagai unit pemerintahan terendah dalam wilayah Indonesia. Undang-Undang tersebut dikuatkan pula oleh Surat Keputusan Gubernur Sumatra Barat No. 162/1982 tentang penghapusan pemerintahan nagari dan menggantinya menjadi sistem pemerintahan desa. Sistem pemerintahan desa tersebut memiliki cakupan yang lebih kecil dari pada pemerintahan nagari karena daerah yang dijadikan desa bukanlah hanya nagari-nagari yang telah ada di Maninjau saja tetapi ada beberapa jorong yang dijadikan desa. Akibatnya wilayah Maninjau yang pada awalnya memiliki sepuluh nagari akhirnya menjadi 16 desa yaitu Desa Pantai Panjang, Sungai Batang Selatan, Sungai Batang Utara, Pasar Maninjau, Koto Baru, Koto Tinggi, Paninjauan, Balai Belo, Koto Kaciak, Pasar Rabaa, Koto Gadang, Koto Malintang, Dalko, Duo Sidang, Bayua, Pantai Barat. Keberadaan 16 desa ini tetap bertahan sampai diterapkannya kembali pemerintahan nagari pada tahun 2001.
B. Keadaan Sosial Budaya Penduduk Maninjau
Minangkabau terdiri atas kesatuan-kesatuan geografis, politik-ekonomis dan kultur-historis dibedakan atas dua bagian yaitu Darek dan Rantau. Darek merupakan daerah pertama yang dihuni oleh penduduk Minangkabau dan tempat lahirnya adat dan budaya Minangkabau. Wilayah Darek mencakup Luhak Nan Tigo yaitu luhak Agam, Luhak Tanah Data, dan Luhak 50 Koto. Kedua adalah wilayah yang disebut dengan Rantau yang merupakan daerah perluasan Darek yang ditempati atau dihuni oleh orang-orang dari Darek. Selanjutnya daerah Rantau ini berdasarkan letaknya dapat dibedakan menjadi dua bagian pula. Ada Rantau yang terletak di pesisir Barat pulau Sumatra yaitu Air Bangis sampai dengan Indrapura dan Rantau Timur berada di pesisir Timur Sumatra daerah yang termasuk didalamnya adalah Siak, Kampar, dan lain-lain.
Maninjau merupakan daerah Ikua Darek Kapalo Rantau. Artinya, Maninjau terletak antara Luhak Nan Tigo yaitu Luhak Agam dan Rantau Pariaman. Dilihat dari adat dan budaya yang dipakai, pengaruh budaya Darek jauh lebih dominan dalam penduduk Maninjau dari pada budaya Rantau. Dalam sistem pemerintahan tradisional penduduk Maninjau mengenal sosok pemimpin suku dengan penghulu dan bukan Rajo seperti di daerah Rantau. Adat yang dipakai penduduk adalah kombinasi aliran Bodi Chaniago dan Koto Piliang dengan falsafah Adat Batanggo Naik, Bajanjang Turun.
Masyarakat Maninjau terbagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan persukuan. Suku-suku yang dominan dalam masyarakat Maninjau adalah Caniago, Piliang, Guci, Malayu, Tanjung, Koto, Sikumbang. Hubungan dan kedekatan persukuan dibina atas rasa keyakinan berasal dari satu nenek moyang yang sama hingga persukuan menjadi ikatan yang erat dan tidak dibenarkan adanya kawin sasuku. Masing-masing suku ini di pimpin oleh Penghulu yang dibantu oleh staf-stafnya. Di antaranya Panungkek dan Imam Khatib. Panungkek bertugas untuk membantu penghulu dalam tugasnya sehari-hari. Panungkek biasanya diangkat dari orang terdekat penghulu, seperti kemenakannya. Orang ini nantinya sekalian menjadi calon penghulu berikutnya. Panungkek atau calon penghulu diberi gelar Datuak. Selain Panungkek, penghulu masih dilengkapi lagi dengan staf lainnya, berupa Imam dan Khatib. Imam dan Khatib ini bertugas sebagai badan penerangan dan agama.
Sepuluh Koto Maninjau menyebut penghulu beserta kaumnya dengan Payung, misalnya suku Tanjung dengan penghulunya bergelar Dt. Indo Kayo, maka menyebutnya kepayungan Angku Dt. Indo Kayo dan sebutan seperti ini masih terdapat di Maninjau. Besarnya peran penghulu diibaratkan dengan payung sebagai tempat berteduh dalam arti penghulu melindungi kaum dan nagarinya.
Seorang penghulu punya tanggung jawab yang besar terhadap kaumnya, yang mematuhi perkataan dan perintah penghulu. Kebutuhan hidup sehari-hari penghulu dibantu secara gotong–royong oleh kaumnya. Kaumnya menyediakan sawah dan ladang secukupnya untuk digarap oleh penghulu sebagai penunjang kehidupan sehari-hari. Pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong oleh kaum tersebut, sehingga memperlihatkan pada kaum lain bahwa mereka sabulek atau mencerminkan kekompakan dan persatuan dalam kaum (suku) mereka. Namun demikian, seiring dengan perkembangan dan pola hidup masyarakat maka penghulu tidak lagi dibantu secara penuh oleh kaumnya.

Tidak ada komentar:

Dream Motorcycle

Dream Motorcycle
Suzuki
Powered By Blogger