.
|
Penny Black, prangko pertama di dunia (1840) |
|
|
|
|
Oleh: DM. Thanthar
Berbicara mengenai sejarah tentunya tidak begitu asing bagi kita. Secara sederhana, sejarah dapat diartikan sebagai sebuah rekonstruksi terhadap masa lampau. Ketika rekonstruksi akan dilakukan maka seorang sejarahwan akan mencari informasi (baca: data) yang berkaitan dengan peristiwa yang akan direkonstruksi. Pencarian itu adalah usaha untuk mendapatkan bukti-bukti yang akurat dan akan mempengaruhi proses penulisan sejarah (baca: historiografi). Berkaitan dengan historiografi itu, bisakah prangko masuk dalam kategori bukti-bukti sejarah?
Dalam tulisan ini akan dijelaskan sekilas mengenai hubungan prangko dengan sejarah. Banyak orang yang belum memahami arti dari prangko dan perannya sebagai alat bukti sejarah. Prangko berbeda dengan bukti-bukti sejarah yang lain, seperti : piagam, prasasti, monumen, candi, tugu, dan bukti-bukti sejarah lainnya yang sama-sama bersifat artefak.
Prangko (
Latin:
franco) adalah secarik
kertas berperekat sebagai bukti telah melakukan pembayaran untuk jasa layanan
pos, seperti halnya mengirim
surat. Prangko ditempelkan pada
amplop,
kartu pos, atau benda pos lainnya sebelum dikirim. Pembayaran
menggunakan prangko menjadi cara pembayaran yang paling populer
dibanding cara lain, seperti menggunakan
aerogram. Prangko pertama kali diperkenalkan pada tanggal
1 Mei 1840 di
Britania Raya sebagai reformasi pos oleh
Rowland Hill.
Prangko yang diciptakan pertama kali tersebut adalah Penny Black. Oleh karena itu sampai sekarang Britania Raya mendapat perlakuan
khusus. Negara ini adalah satu-satunya negara yang tidak perlu
mencantumkan nama negara di atas prangko.
Prangko pada hakekatnya adalah secarik kertas bergambar yang diterbitkan oleh
pemerintah yang pada bagian belakang umumnya memuat perekat, sedangkan pada bagian depannya memuat suatu
harga
tertentu yang dimaksudkan untuk direkatkan pada kiriman pos. Dengan
menempelkan prangko pada sepucuk surat berarti biaya pengiriman surat
tersebut telah dilunasi oleh pengirim surat, dan sebagai imbalannya
pos berkewajiban menyampaikan surat tersebut kepada alamatnya di tempat tujuan.
Kegiatan surat-menyurat dan sistem perposan sebenarnya sudah dikenal
manusia
sebelum dikenalnya prangko. Dan setiap pemerintahan membangun sarana
dan prasarana untuk menunjang kegiatan sistem perposan. Sebagai contoh,
Jalan Raya Anyer-Panarukan yang dibangun oleh gubernur jenderal
Hindia Belanda (
Herman Willem Daendels), dikenal dengan nama Jalan Pos Raya. (Wikipedia.org)
Paling tidak prangko memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan bukti sejarah yang lain. Kelebihan prangko adalah : pertama, prangko adalah bukti sejarah yang dapat dibawa kemanapun tanpa ada pihak yang menghalangi dan melarangnya. Kedua, prangko adalah bukti sejarah yang dapat dikoleksi. Ketiga, prangko lebih mudah didapat tanpa mengeluarkan banyak biaya.
Prangko pada umumnya melukiskan peristiwa-peristiwa besar dan tokoh-tokoh besar saja dan ini merupakan kelemahan prangko sebagai bukti sejarah. Prangko hanya akan melihat sebuah peristiwa dari sudut pandang pihak yang sedang berkuasa. Sebut saja prangko dengan seri Pekan Olahraga Nasional (PON), seri Olimpiade, seri Pembangunan Lima Tahun (PELITA), seri tokoh-tokoh penting, dan berbagai peristiwa besar lainnya sering menjadi tema dalam sebuah seri prangko. Namun demikian, prangko juga memiliki tema-tema lain seperti flora dan fauna, budaya-budaya tradisional Inonesia, dan lain sebagainya.
Dicetaknya prangko dengan tema yang beragam itu secara tidak langsung telah merekam suatu kejadian dari satu sudut pandang. Artinya, dalam satu seri penerbitannya prangko telah menyimpan serangkaian catatan sejarah mengenai peristiwa yang pernah terjadi. Catatan-catatan sejarah yang ada pada prangko tersebut menunggu interpretasi (penafsiran) dari para sejarahwan. Sampai saat ini sudah banyak prangko, dalam berbagai seri, yang dicetak dan beredar ditengah-tengah masyarakat, namun prangko masih sering luput dari perhatian sejarahwan.
Kurangnya perhatian para sejarahwan terhadap prangko tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah prangko memang tidak bisa menjadi kajian seorang sejarahwan? Kalau bisa menjadi kajian sejarah, mengapa prangko luput dari perhatian sejarahwan ketika mengumpulkan data-data untuk sebuah historiografi?
Peran prangko memang tidak sebesar peran dokumen dalam proses historiografi, tetapi prangko tetap menyimpan catatan sejarah dengan caranya sendiri. Dengan demikian, dapatkah prangko disebut sebagai alat bukti sejarah? Mungkin akan banyak pendapat tentang wacana ini, namun yang terpenting dari tulisan ini adalah mengajak kita untuk berfikir tentang sesuatu yang sering luput dari perhatian kita. Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, tetapi lebih bersifat berbagi pendapat dan interpretasi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar