Kingdon181 Cyber Area

Minggu, 09 Oktober 2011

Makna Dalam Sebuah Cerita Usang

.

Oleh: DM. Sutan Zainuddin, S.S

Seminggu yang lalu, ketika saya menuju Kota Padang, penumpang travel yang duduk di sebelah saya mengobrol disepanjang perjalanan dengan anaknya. Mereka mengobrol tentang keseharian dan sesekali berkelakar tentang persoalan hidup yang harus dihadapi. Begitu akrab, dan obrolan mereka mengalir begitu saja seolah-olah tidak ada rahasia antara mereka. Bagi saya keakraban antara orang tua dan anak seperti itu tidaklah begitu istimewa, biasa saja, namun ketika saya melihat kondisi masyarakat dikekinian apa yang dilakukan si Bapak terhadap anaknya itu ternyata bisa dikatakan sebagai sesuatu nan langka. Sehingga, meski pada awalnya saya mengabaikan saja obrolan mereka, namun akhirnya fikiran saya tergelitik juga karena sesuatu yang sederhana yang dilakukan si Bapak pada anaknya itu menjadi luar biasa karena mengandung makna.

Memang, jika dilihat perkembangan prilaku masyarakat pada masa kekinian, baik masyarakat tua maupun generasi muda, menunjukkan gejala-gejala yang menjauh dari tata nilai masyarakat ketimuran nan memiliki nilai-nilai moral dan etika dalam keseharian. Hubungan antara para tetua dengan generasi mudanya seakan terpisah sehingga transfer nilai-nilai nan bersumber dari pengalaman hidup makin lama makin hilang. Nilai-nilai saling hormat-menghormati bisa dikatakan punah, dan sosok teladan yang berwibawa dan mampu menenangkan masyarakat pun entah dimana kini. Padahal untuk membangun generasi nan berkarakter tentu generasi itu harus mengetahui karakter lokal mereka itu sendiri.


Kini, memang sudah sangat jarang kita lihat orang tua yang begitu akrab bercerita dengan anaknya. Bercerita tentang pengalaman dengan tutur yang tidak menggurui namun dalam cerita itu terkandung berbagai nilai-nilai yang sangat berguna bagi si anak. Misal, ketika orang tua bercerita tentang bagaimana ia ketika kecil, pagi sekolah dan siangnya membantu orang tua di sawah, ladang, atau berdagang. Bagaimana ia bermain dan menciptakan sendiri mainan dari bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungannya. Dalam cerita-cerita itu tentu terkandung sebuah nilai perjuangan dan pengorbanan dalam menjalani kehidupan. Dan, juga terselip nilai kreatifitas, tanggungjawab, serta hormat terhadap orang tua.

Jika dirunut persoalan perubahan tersebut tentu kita harus merunut pula peristiwa dari masa ke masa lengkap dengan semua perubahan yang terjadi pada tiap zaman. Dengan demikian, akan terlihat bagaimana proses perubahan karakter itu terjadi dan apa-apa saja yang menjadi faktor pemicunya. Benarkah perkembangan teknologi informasi yang telah sukses mentransfer nilai-nilai baru yang menggerogoti sistem nilai tradisional? Atau Sang Penjaga sistem nilai tradisional itu sendiri nan tak kuat menjaga karena gagap akan teknologi informasi sehingga tak tau bagaimana cara membendung derasnya gelombang modernisasi nan menghantam sistem nilai tradisional? Atau mungkin juga Sang Penjaga ikut larut dan terbuai oleh perubahan yang terjadi itu sehingga luntur wibawanya sebagai panutan dan hilang rasa segan anak kemenakan.

Membahas masalah sistem nilai tradisional, saya jadi teringat cerita nenek saya dahulu. Dulu, kata beliau, ada seorang kakek yang oleh masyarakat dikatakan sinting alias kurang waras. Kakek itu selalu mengatakan hal-hal yang tidak bisa diterima akal sehat pada waktu itu. Konon si Kakek selalu berjalan menginjit seakan takut akan menginjak duri atau pecahan kaca yang akan melukai telapak kakinya. Ketika ditanya mengapa ia berjalan seperti itu, ternyata si Kakek bukan takut telapak kakinya terluka namun takut terinjak anak iblis. Dan, tentu saja orang tak percaya.

Akan tetapi, kata nenek lagi, ternyata ada dua hal yang dikatakan si Kakek sinting menjadi kenyataan pada masa kini. Pertama,celoteh si Kakek yang mengatakan bahwa bumi akan memiliki ikat pinggang yang meliliti tubuhnya. Jika dilihat pada masa kini mungkin bisa dikatakan maksud si Kakek sinting adalah rel kereta api yang ada di berbagai negara di belahan bumi ini. Kedua, si Kakek sinting mengatakan bahwa nanti orang di kampung akan bisa melihat langsung kejadian yang terjadi diseluruh muka bumi tanpa berpergian bahkan bisa berbicara langsung dengan orang yang berada di tempat yang jauh. Hal yang kedua ini agaknya maksud si Kakek sinting adalah televisi dan telepon atau handphone.

Selain itu, lanjut nenek lagi, si Kakek sinting juga sering mengatakan bahwa jagalah anak-anak gadis kalian karena nanti malu jo sopan akan hilang sehingga banyak perempuan yang hobi telanjang. Hal yang terakhir ini pun tammpaknya juga telah terjadi pada masa kini. Jika dahulu perempuan banyak nan risih ketika memakai pakaian ketat yang membuat lekuk tubuh mereka terlihat dengan jelas, sekarang malah mereka bangga dengan pakaian seperti itu. Jangankan lekuk tubuh, mempertontontan betis dan paha pun mereka seakan bangga. Naudzubillahimindzalik.

Agaknya, jika si Kakek sinting hidup pada zaman sekarang belum tentu ia akan dikatakan sinting karena semua ucapannya bisa diterima akal sehat dan sesuai dengan kenyataan yang ada sekarang. Lantas, apa itu bermakna bahwa fikiran orang-orang yang hidup pada masa sekarang sesuai dengan kesintingan si Kakek pada masa dahulu. Atau, jagan-jangan sekarang semua orang telah sinting seperti si Kakek. Hehe.

Terlepas dari gurauan di atas, agaknya semua perubahan itu perlu disikapi. Saat ini, nan bisa dilakukan hanyalah memperkokoh pondasi keluarga masing-masing dengan sistem nilai karena generasi sekarang adalah cerminan dari generasi sebelumnya dan generasi nan akan datang adalah cerminan dari generasi sekarang. Rapuh generasi sekarang maka akan lebih rapuh lagi generasi nan akan datang karena generasi sekarang adalah calon pemimpin keluarga di masa datang. Jika sekarang kita kuatkan sistem nilai (nilai etika, moral, dan spritual) pada tiap-tiap keluarga maka akan menguatkan generasi nan akan datang. Semoga.

Tidak ada komentar:

Dream Motorcycle

Dream Motorcycle
Suzuki
Powered By Blogger