JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah, saya sengaja mengawali tulisan ini dengan meminjam istilah yang pernah diucapkan oleh Soekarno, mantan orang nomor satu di Indonesia sekaligus penguasa Orde Lama.

Dalam bidang apa pun membaca dan mempelajari sejarah akan sangat membantu dalam mencari dan menentukan arah dan pedoman tindakan pada masa kini. Demikian juga halnya ketika menentukan arah pembangunan bangsa saat ini.

Dalam perjalanan panjang sejarah pergerakan Indonesia, para elit bangsa telah memperlihatkan andil dan kontribusi nyatanya dalam pergerakan. Lahirnya pergerakan nasional Indonesia merupakan bukti nyata sumbangsih mahasiswa yang notabenenya adalah kaum terpelajar yang juga menjadi kaum elit menengah.

Memang, pada awalnya gerakan yang muncul adalah gerakan yang lebih bersifat kedaerahan atau kelompok, atau dapat diistilahkan dengan gerakan individual atau gerakan kecil. Sebagaimana lazimnya gerakan kecil tentunya daya dobrak yang dihasilkan akan sesuai dengan pemicu gerakan itu sendiri. Namun demikian, walaupun daya dobrak dari gerakan kecil tersebut terlihat lemah, tetapi perannya tidak dapat diabaikan begitu saja. Gerakan-gerakan kecil itu adalah akar dari gerakan besar yang muncul dikemudian hari. Gerakan kecil itulah yang menjadi biang menyebarnya ide dan gagasan untuk mewujudkan sebuah gerakan yang pada masanya dikenal dengan gerakan nasional.

Hal lain yang sangat terkait dengan persoalan pergerakan nasional adalah pendidikan. Mengapa demikian? Alasannya sederhana saja, yaitu karena pergerakan-pergerakan yang muncul pada tahap awal adalah buah dari pohon yang bernama pendidikan. Jadi tidak salah jika pendidikan diistilahkan dengan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Rahim pendidikan melahirkan anak yang bernama kaum terpelajar. Mereka ini memiliki fikiran yang kritis sehingga menjadi ujung lidah dari masyarakat. Secara perlahan mereka menjadi sebuah kekuatan yang mampu melancarkan aksi kolektif. Aksi kolektif itu, disadari ataupun tidak, telah membentuk identitas kolektif dan kemudian menentukan orientasi bersama.

Puncaknya adalah ikrar yang diwujudkan pada 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Saat itu, segala bentuk perbedaan tertepiskan. Tembok-tembok sosial pun seakan meleleh begitu saja sehingga yang dikembangkan hanyalah satu layar menuju pulau kemerdekaan.

Sangat kontras jika dibandingkan dengan kondisi sekarang. Kini, para elit negara malah saling sikut demi sebuah kursi yang bernama kekuasaan. Rebutan kekuasaan itu makin menghangat di tahun 2009 ini. 9 April kemarin, rakyat telah memberikan kepercayaan kepada sekitar 18 ribu orang untuk mewakili suara mereka. Jika para wakil rakyat terpilih itu tidak belajar dari sejarah maka mereka akan sangat berpeluang mengulangi kesalahan-kesalahan wakil rakyat terdahulu dan tidak akan mampu mengembangkan sisi positif yang telah terbangun.

Seharusnya, ketika berada di ruang sidang dewan, fikiran wakil rakyat benar-benar fokus untuk mengurusi kepentingan rakyat bukannya malah sibuk memikirkan strategi untuk memperbesar pendapatan secara pribadi. Tujuan kolektif bangsa jangan lagi terabaikan oleh tujuan partai dan golongan. Kinilah saatnya proses demokrasi memberikan bukti kepada rakyat bahwa wakil rakyat adalah pelayan rakyat yang akan mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Mampukah para elit bangsa mengenyampingkan ego kelompok dan golongan untuk memperjuangkan nasib rakyat yang diwakili dan dipimpinnya? Akankah tanah Nusantara yang kaya mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya? Kini, semua itu berada di pundak 18 ribu wakil rakyat terpilih. (*/wij)