Kingdon181 Cyber Area
Sabtu, 15 Maret 2014
KUNANG-KUNANG TIMUR
Cerpen DM. Thanthar
Sudah beberapa malam ini adikku yang bungsu bersikap rewel. Ia selalu meminta yang aneh-aneh kepada bunda. Dua hari yang lalu ia meminta dibelikan kembang api, padahal malam itu bukan malam lebaran juga bukan malam tahun baru yang biasanya ramai pesta kembang api. Dan, ketika permintaannya tidak bisa dipenuhi bunda ia menangis sejadi-jadinya.
Si bungsu memang masih kecil. Umurnya saja belum genap empat tahun tetapi watak keras sepertinya mulai tergambar dari perkembangan sikapnya. Ia suka memaksakan kehendak dan akan mengamuk hebat ketika yang diinginkannya tidak didapatkannya.
“Mungkin karena ia masih kecil,” pikir ku.
Untunglah bunda adalah orang paling sabar dan penyayang. Paling tidak jika dibandingkan dengan orang-orang yang pernah aku kenal. Bunda tidak pernah marah menghadapi sikap si bungsu. Paling-paling ia menghibur si bungsu dengan dongeng-dongeng yang selalu ampuh membuat si bungsu lupa dengan keinginannya. Biasanya si bungsu akan tertidur karena keasyikan mendengar cerita bunda.
Bunda memang jago mendongeng. Aku saja yang telah berumur lebih seperempat abad masih suka mendengar dongeng-dongeng yang dikisahkan bunda. Mungkin karena bunda selalu menceritakan dongeng-dongeng yang baru dan tidak pernah mengulangi kisah yang sama.
Malam ini si bungsu kembali berulah. Dan, itu berarti bunda akan mendongeng lagi. Awalnya aku hanya mendengar begitu saja kisah yang dituturkan bunda, yakni kisah tentang kunang-kunang timur. Ceritanya mengalir begitu saja seakan bunda telah sangat hafal dengan kisah itu. Namun tiba-tiba aku seperti terseret oleh putaran waktu ke dalam kisah kunang-kunang timur itu.
***
Gelap malam menebas ketajaman mata ku sehingga aku seakan buta. Ia menyergap ku yang sedang berjalan menuju pasanggrahan. Aku pun harus melangkah dengan hati-hati agar tidak terperosok ke dalam lubang yang rasanya sedang mengancam tiap langkah ku.
Gelap benar-benar pekat. Aku pun seperti kehilangan arah karena tidak begitu jelas setapak yang akan ku lewati. Walau ada semacam keraguan yang membayangi tetapi yang jelas aku harus terus melangkah agar segera keluar dari kegelapan yang mencengkeram pupil mataku. Untuk meneruskan langkah, paling tidak aku masih bisa mengandalkan mata batin.
Tadinya, muncul keinginan untuk menghentikan langkah dan beristirahat sejenak menunggu gelap usai. Tetapi ada sesuatu yang memaksaku untuk terus melangkah menerobos gelap. Seakan-akan ada sesuatu yang menanti ku di ujung gelap. Akhirnya, aku melangkah juga menuruti detak batin ku.
“Kami hanya ingin mengabdi pada kehidupan dengan cara dan aturan yang kami pahami dan yakini,” sayup terdengar satu suara dari sebelah kanan ku.
“Tapi keberadaan kalian merupakan penghalang bagi kemajuan,” jawaban terdengar begitu saja dalam kegelapan.
“Tidak, kami memiliki peradaban sendiri yang memiliki nilai etika dan estetika yang bagus. Peradaban kalian lah yang mempengaruhi generasi kami melalui segala cara yang berwujud kesenangan dunia sehingga anak-anak kami larut dengan urusan dunia dan lupa akan hakikat penciptaan mereka,” bantah suara pertama.
“Ah, omong kosong. Bukan peradaban kami yang salah tetapi pemimpin kalian yang tidak becus menjaga budaya sehingga peradaban kami begitu mudahnya mengubah kepribadian anak-anak kalian,” sergah suara kedua.
Kemudian hening.
Ku hentikan langkah ku dan kupertajam pendengaran sambil berharap akan terdengar lagi suara lainnya.
Tapi tetap hening. Tidak ada lagi suara, hanya desau daun yang dihembus angin yang terdengar.
Kuperhatikan sekelilingku, hanya gelap. Mataku masih belum bisa menembus gelap nan pekat. Aku masih berharap akan mendengar suara. Paling tidak, untuk sementara, suara itu bisa menjadi tujuan ku sebelum muncul cahaya yang mengusir gelap.
“Kalau tidak salah, suara itu dari arah kanan,” simpul ku.
Aku pun langsung melangkah ke arah kanan. Baru beberapa langkah muncul keraguan.
“Jangan-jangan aku salah dengar atau hanya halusinasi,” pikir ku.
Tiba-tiba saja aku teringat cerita kawan-kawan ku yang sering naik gunung. Tentang suara-suara yang sering menyesatkan para pendaki. Kontan saja bulu kuduk ku merinding. Rasa takut pun mulai menggusur keberanian ku. Setengah sadar aku melangkah mundur mencari pertahanan untuk antisipasi serangan dari belakang.
Satu langkah, dua langkah, sampai lima langkah masih saja kosong di belakang ku. Kepanikan mulai membaluti fikiran ku. Ku percepat langkah mundur ku dan tangan mulai meraba-raba segala arah mencari sesuatu yang bisa dipengang.
Duk..!!
Aku terjengkang. Mungkin karena tersandung oleh akar pohon yang menyembul. Punggung ku berdenyut sakit, tetapi mata ku menangkap kelip cahaya yang melintas beberapa meter di atas ku.
“Kunang-kunang...!,” teriak ku.
Secepatnya ku berdiri dan ku jangkau kunang-kunang itu ternyata masih terlalu tinggi bagi ku. Ketakutan dan kepanikan sebelumnya telah enyah begitu saja. Kegembiraan ku menemui setitik cahaya di tengah gelap nan pekat seakan menebas ketakutan dan kepanikan itu.
Mata ku masih lekat menatap kelip cahaya kunang-kunang. Aku ambil ancang-ancang melompat untuk menangkap kunang-kunang itu.
“Kunang-kunang itu akhirnya menuntun Sang Pangeran menuju tempat kediaman Putri Timur,” suara samar-samar kembali terdengar, kali ini dari arah depan ku.
Ku urungkan niat ku menangkap kunang-kunang. Ku pertajam lagi pendengaran untuk memastikan arah suara.
“Atas jasa kunang-kunang itu, Pangeran dan Putri Timur sepakat menamakan mereka Kunang-kunang Timur,” terdengar lagi suara dan jelas berasal dari arah depan ku.
Ku nyalangkan benar mata ku menatap ke arah depan. Awalnya masih gelap, kemudian samar-samar terlihat satu wajah.
“Rasa-rasanya aku kenal wajah itu,” gumam ku.
Ku kucek-kucek mata ku kemudian ku pandangi lekat-lekat wajah yang terlihat sama itur.
“Bunda..?!” teriak ku tertahan.
“Ssst, pelankan suara mu. Nanti adik mu bangun lagi. Memangnya ada apa?” ujar bunda.
“Tidak ada apa-apa kok bunda,” jawab ku sekenanya.
Bunda kemudian membopong si bungsu ke kamar sementara aku masih tercenung memikirkan kisah mimpi tentang kunang-kunang.
“Kunang-kunang Timur,” gumam ku.
Suasana malam sangat tenang hanya saja suara jangkrik masih nyata terdengar. Ku beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu, kutunaikan ibadah ku sebagai makhluk kemudian ku mohonkan doa untuk kunang-kunang timur dan untuk cinta ku nan telah mati.
***
Guwo, 5 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar