Rasulullah Salallahu ’Alaihi Wassalam menerima wahyu kira-kira 23 (dua puluh tiga) tahun lamanya. Dalam rentang masa itu lengkaplah ayat-ayat pada kitab suci Al-Qur’an yang mengandung segala petunjuk bagi manusia, untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Walaupun tidak dengan secara terinci (tafsil) satu per satu – bahkan banyak ayat yang berupa penjelasan secara umum (mujmal) – tetapi kemudian dijelaskan oleh Rasulullah Salallahu ’Alaihi Wassalam. Penjelasan yang dilakukan Rasulullah ada yang secara lisan, melalui perbuatan, serta dengan diam dan membiarkan saja. Misalnya suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dihadapan beliau. Beliau melihat dan mengetahui sifat-sifat perbuatan itu tetapi beliau diam saja, tanpa memberi keterangan atas hukum perbuatan itu, maka diamnya Rasulullah menjadi penjelasan bahwa perbuatan tersebut hukumnya mubah/boleh.
Setelah Rasulullah Salallahu ’Alaihi Wassalam wafat, beliau meninggalkan para sahabat yang merupakan alim ulama dan cerdik pandai. Para sahabat tersebut harus memikul tugas untuk menggantikan Rasulullah memimpin Negara dan rakyat, memajukan agama dan menghukum segala sesuatu dengan adil. Pengetahuan para sahabat tersebut tidaklah sama, mereka merupakan ‘alim mutakhassis (spesialis) dalam berbagai ilmu. Ada yang merupakan mutakhassis dalam ilmu hukum, ada mutakhassis dalam ilmu kenegaraan dan politik, ada pula mutakhassis dalam ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, perdagangan, dan ilmu-ilmu lainnya.
Dalam menghadapi segala persoalan terlebih dahulu mereka memeriksa persoalan tersebut dalam kitab suci Al-Qur’an atau hadis yang mereka hafal. Namun demikian, kadang-kadang masalah yang mereka hadapi tidak ditemukan nash-nya dalam Al-Qur’an maupun hadis. Dalam kondisi seperti ini, mereka akan saling bertanya karena mungkin saja sahabat yang lain mengetahui hadisnya sedangkan sahabat yang sedang menghadapi peristiwa/masalah itu sendiri tidak mengetahuinya. Apabila di antara mereka ada yang mengetahui hadis mengenai peristiwa itu maka akan ditetapkan hukum menurut nash hadis tersebut. Akan tetapi jika tidak dijumpai nash yang jelas maka mereka akan berijtihad untuk mencari hukum dengan memperbandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadis yang umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi, diqiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan peristiwa yang baru terjadi.
Apabila ada masalah-masalah yang penting, para sahabat mengadakan musyawarah dan bertukar fikiran berbagi pengetahuan. Dalam melakukan musyawarah, semua didasarkan pada dua pokok yakni Al-Qur’an dan hadis sehingga pemusyawarahan itu dapat menghasilkan keputusan. Demikianlah cara para sahabat bekerja sehingga seorang yang mempunyai kedudukan tinggi tidak segan-segan bertanya kepada siapa pun, termasuk kepada orang yang lebih rendah kedudukannya.
Seiring dengan makin meluasnya pemerintahan Islam ke timur dan ke barat maka alim ulama dan kaum cerdik pandai pun berpindah dari tempat kelahiran mereka menuju daerah-daerah baru. Perpindahan tersebut mereka lakukan semata-mata untuk kepentingan Negara dan agama.
Di daerah baru, para sahabat mendapati adat, pergaulan, peraturan, dan berbagai peristiwa yang sungguh berbeda dari yang pernah mereka alami dan temui di daerah asal mereka. Setiap daerah memiliki adat, pergaulan, dan peraturan sendiri. Contohnya daerah Persi, mereka memiliki peraturan dan undang-undang sendiri sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan. Mesir dan Syam mempunyai cara sendiri pula sesuai dengan apa yang mereka warisi dari peninggalan pemerintahan Romawi. Ringkasnya, keadaan di daerah-daerah baru berbeda dengan keadaan daerah asal para sahabat.
Para sahabat yang terdiri dari alim ulama dan cerdik pandai harus bijak dalam menghadapi perbedaan yang ada di daerah baru. Mereka harus berusaha agar semua persoalan yang mereka hadapi dapat disesuaikan dengan agama Islam, karena para sahabat mengetahui bahwa Islam bukan untuk meruntuhkan dan membuang segala yang ada dan menggantinya dengan yang baru namun memperbaiki dengan cara memperhatikan dan menimbang segala sesuatu dengan dasar baik serta melihat kandungan manfaat dan mudaratnya.
Segala sesuatu yang baik atau maslahat dijadikan syariat dan segala sesuatu yang buruk dan merusak akan dibuang dan dilarang mendekatinya. Contohnya, Islam telah menetapkan ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam setelah membersihkannya dari sifat-sifat berhala. Demikian juga Islam telah menetapkan hukum perkawinan, perceraian, jual beli, dan beberapa urusan muamalah setelah diatur dan diperbaiki menurut kemaslahatan. Islam pun telah memberikan hak bagi perempuan setelah memperbaiki cara-cara kaum jahiliyah memperlakukan perempuan.
Meskipun mujtahidin (alim ulama dan cerdik pandai) boleh mempertimbangkan serta memberi keputusan terhadap suatu peristiwa atau persoalan yang tidak ada nash-nya di kitab suci Al-Qur’an dan hadis namun keputusan mereka harus sesuai dengan pokok syariat dan tidak bertentangan dengan nash yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Berdasarkan syarat yang ada tersebut maka sangkaan yang menyatakan bahwa fiqh Islam adalah pendapat ulama-ulama Islan dengan mempergunakan peraturan dan undang-undang daerah-daerah taklukan adalah tidak benar.
Ulama di zaman sahabat sampai ke zaman tabi’in dan seterusnya mengambil hukum fiqh bukan semata-mata dari pendapat mereka dengan melihat dan meneliti peristiwa yang ada di tengah-tengah mereka saja namun mereka mengambil hukum-hukum itu dari pokok syariat yakni Al-Qur’an dan hadis. Kaidah yang menjadi dasar dan pegangan mereka adalah Allah SWT menurunkan hukum yang sesuai dengan segala masa dan semua tempat. Sebagian hukum diambil dari nash secara rincian sedangkan sebagian lagi diambil dari ayat atau hadis umum. Ayat dan hadis umum mereka sesuaikan dengan keadaan kemaslahatan, kemanfaatan, dan kebaikannya – baik yang berhubungan dengan diri sendiri ataupun dengan masyarakat umum. Tidaklah sekali-kali mereka diizinkan mengambil hukum dan undang-undang yang bukan Islam atau undang-undang yang semata-mata hanya buatan manusia.
Pusat atau tempat alim ulama dan cerdik pandai di masa sahabat mengembangkan dan mempraktikkan hukum Islam dan ilmu pengetahuan terhadap muslimin khususnya dan umat manusia adalah daerah Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir. Adapun beberapa ulama yang sungguh besar jasanya dalam menjalankan dan menyiarkan hukum-hukum fiqh adalah Mu’az, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Darda, Ubadah bin Samit, Abdullah bin Amr bin Ash, dan ulama lainnya. Ulama-ulama tersebut selain bekerja untuk pemerintah, mengatur negeri, menyusun dan merencanakan undang-undang dan berbagai peraturan, mereka juga berperan sebagai pendidik, mengajar anak-anak dan teman-teman mereka menghafal dan memahamkan Al-Qur’an dan hadis.
Beberapa riwayat menyatakan beliau sebagai orang yang mula-mula menyusun ilmu fiqh sebagaimana susunan sekarang ini. Beberapa ulama telah bergaul dengan Abu Hanifah. Mereka mempelajari mazhab yang disusun Abu Hanifah dan hukum yang mereka dapat dari mazhab tersebut mereka tulis dan bukukan. Mereka berperan sebagai pendukung Mazhab Hanafi namun sebagian besar ulama-ulama tersebut juga kembali menyelidiki dan memeriksa hukum-hukum yang terdapat dalam Mazhab Hanafi dengan memeriksa dalil-dalilnya serta disesuaikan dengan keadaan-keadaan kefaedahan dan kemudaratannya. Berdasarkan hasil kajian tersebut beberapa di antara ulama-ulama itu ada yang tidak mufakat terhadap sebagian dari hukum-hukum yang telah ditetapkan Abu Hanifah.
Ulama-ulama yang berbeda pendapat dengan Abu Hanifah menetapkan hukum sendiri. Mereka antara lain Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zufar. Mereka inilah yang dinamakan sahabat-sahabat Abu Hanifah. Mazhab Hanafi banyak tersiar dan berkembang di Bagdad, Parsi, Bukhara, Mesir, Syam, dan beberapa tempat lainnya.
Beliau menyusun mazhabnya atas empat dasar yakni Kitab Suci, Sunnah Rasul, ijma’, dan qias. Qias hanya beliau gunakan dalam hal-hal yang terbatas sekali karena beliau adalah ahli hadis. Beliau berkata, “Sesungguhnya saya sebagai manusia biasa kadang-kadang betul dan kadang-kadang salah, maka hendaklah kamu periksa dan selidiki pendapat-pendapatku itu. Mana yang sesuai dengan sunnah, ambillah!”
Imam Malik adalah ahli fiqh dan hadis. Pada masanya beliau terbilang paling berpengaruh di seluruh Hijaz. Orang menyebut beliau “Sayyid Fuqaha Al-Hijaz” (pemimpin ahli fiqh di seluruh tanah Hijaz). Beliau memiliki banyak sahabat dan murid, di antaranya adalah Muhammad bin Idris bin Syafi’I, Al-Laisy bin Sa’ad, Abu Ishaq Al-Farazi. Pengikut mazhab ini banyak terdapat di daerah Tunisia, Tripoli, Magribi, dan Mesir.
Ali bin Usman pernah berkata: “ Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar daripada Syafi’i. Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang menyamainya di masa itu. Ia pintar dalam segala pengetahuan, sehingga jika ia melontarkan anak panah maka dapat dijamin 90% akan mengenai sasaran.”
Ketika berumur hampir 20 tahun beliau pergi ke Madinah untuk belajar karena mendengar kabar tentang Imam Malik yang begitu terkenal sebagai seorang ulama besar dalam hadis dan ilmu fiqh. Setelah itu beliau mengunjungi Irak dan bergaul dengan sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah. Beliau juga pergi ke Parsi dan beberapa negeri lainnya. Kira-kira dua tahun beliau melakukan perjalanan untuk menambah pengetahuan tentang keadaan kehidupan dan tabiat manusia. Misalnya keadaan yang menimbulkan perbedaan adat dengan akhlak. Hal tersebut sangat berguna bagi beliau sebagai alat untuk mempertimbangkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang beliau hadapi.
Setelah berumur 20 tahun mendapat izin dari gurunya yang lain yakni Muslim bin Khalid untuk berfatwa. Beliau bergaul baik dengan rakyat maupun pemerintah. Sering berdiskusi dengan ulama-ulama terutama sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah sehingga beliau dapat menyusun “qadim” (pendapat beliau yang pertama). Beliau diminta oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid supaya tetap tinggal di Bagdad. Di Bagdad beliau menyiarkan agama dan pendapat-pendapat beliau diterima oleh segala lapisan.
Imam Syafi’I kemudian kembali ke Makkah hingga tahun 198 Hijriah berangkat ke Mesir. Di Mesir beliau menyusun pendapat yang baru (qaulul jaded). Kata-kata Syafi’I yang sangat perlu menjadi perhatian – terutama bagi ulama yang mendukung dan mengikuti Mazhab Syafi’I ialah: “Apabila hadis itu sah, itulah mazhabku dan buanglah perkataan yang timbul dari ijtihadku.” Pengikut Mazhab Syafi’I banyak ditemui di daerah Mesir, Kurdistan, Yaman, Aden, Hadramaut, Makkah, Pakistan, dan Indonesia,
Dasar yang keempat adalah qias. Qias hanya beliau pakai ketika tidak ada lagi pilihan/jalan lain dalam menetapkan hukum terhadap suatu peristiwa.
Dalam melahirkan fatwa yang tidak ada nash atau asar sahabat, Imam Hanbali berlaku sangat hati-hati. Kehati-hatiannya ini diprediksi mengakibatkan mazhab beliau cenderung lambat tersiar ke daerah-daerah yang jauh, apalagi murid-murid beliau pun terkenal sangat berhati-hati pula dalam menyiarkan mazhab beliau. Mazhab Hanbali mula-mula tersiar di Bagdad, kemudian berangsur-angsur masuk dan berkembang di daerah lainnya. Pengikut Mazhab Hanbali yang terbanyak berada di Hijaz. Bahkan Raja Ibnu Sa’ud telah menetapkan Mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi bagi Pemerintah Saudi Arabia. Sementara itu di Mesir tidak tampak perkembangan pengikut mazhab ini kecuali sekitar abad ke-7 Hijriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar