DM. Sutan Zainuddin, S.S |
Oleh: DM. Sutan Zainuddin, S.S
Prasasti adalah sumber sejarah dari masa lampau yang ditulis pada batu, logam, gerabah, kayu, batubata, porselin, dan lontar. Prasasti disebut sebagai sumber sejarah karena tulisan pada prasasti biasanya memuat informasi tentang berbagai hal, diantaranya ancaman atau sumpah kutukan, ekspensi, dll. Selain itu informasi yang terkandung dalam prasasti merupakan salah satu sumber yang menggambarkan kondisi masyarakat atau kerajaan pada zamannya.
Indonesia memiliki banyak sekali prasasti. Hal itu tidaklah aneh karena Indonesia merupakan daerah kepulauan yang pada masa lampaunya terdiri dari banyak kerajaan-kerajaan besar dan kecil. Misalnya Kerajan Kutai di pulau Kalimantan, Majapahit di pulau Jawa, Sriwijaya di Sumatera, Ternate dan Tidore di Maluku, dan banyak lagi kerajaan-kerajaan lainnya. Namun demikian tidak semua prasasti dari kerajaan tersebut dapat ditemukan oleh para ahli arkeologi dan ahli historiologi. Kemungkinan secara sederhananya, mungkin tidak semua kerajaan yang pernah ada di Indonesia memiliki prasasti atau para arkeolog dan sejarahwan yang belum berhasil menemukan prasasti-prasasti tersebut. Lainnya, tentu saja kerajaan-kerajaan yang ada setelah manusia mengenal kertas sangat kecil kemungkinan membuat prasasti.
Dari beberapa prasasti yang telah ditemukan oleh para arkeolog dan sejarahwan, diantaranya adalah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya. Ada lima prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya, yaitu Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuo, Prasasti Kota Kapur, dan Prasasti Boom Baru.
Prasasti Telaga Batu ditemukan di Desa Telaga Batu Kecamatan Ilir Timur Pelembang Sumatera Selatan. Prasasti tersebut tidak memiliki angka tahun tetapi ditulis menggunakan huruf Palawa dengan bahasa Melayu Kuno. Tulisan-tulisan pada Prasasti Telaga Batu terdiri dari 28 baris yang memuat informasi tentang kutukan terhadap siapa saja yang tidak taat kepada pemerintah (raja). Selain itu, juga menjelaskan susunan ketatanegaraan Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di Desa Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang (anak Sungai Musi), tepatnya di kaki Bukit Seguntang. Prasasti tersebut berangka tahun 605 saka / 683 M. Prasasti Kedukan Bukit ditulis menggunakan huruf Palawa yang berbahasa Melayu Kuno. Terdiri dari 10 baris yang berisi tentang Jaya Siddhayatra (perjalanan suci) penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang. Perjalanan itu merupakan ekspedisi militer Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuo ditemukan di Desa Talang Tuo, Palembang. Berangka tahun 606 saka / 684 M dan ditulis menggunakan huruf Palawa yang berbahasa Melayu Kuno. Tulisan prasasti yang terdiri dari 14 baris itu berisikan pernyataan tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Srijayanasa.
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Desa Kota Kapur, Bangka, Sumatera Selatan. Prasasti tersebut berangka tahun 608 saka / 686 M. Prasasti yang juga ditulis menggunakan huruf Palawa dengan bahasa Melayu Kuno itu terdiri dari 10 baris yang memuat informasi tentang sumpah kutukan dan upaya ekspansi ke Pulau Jawa.
Prasasti Boom Baru ditemukan di Desa Boom Baru, Palembang, Sumatera Selatan. Sampai saat ini prasasti yang terdiri dari 11 baris itu masih belum berhasil dibaca sehingga informasi yang terkandung dalam prasasti tersebut belum bisa diketahui.
Jika kita amati, lima prasasti tersebut dinamakan sesuai dengan nama daerah tempat ditemukan. Padahal pada zamannya, saat prasasti itu dibuat, mungkin saja prasasti-prasasti tersebut memiliki sebutan yang berbeda. Akan tetapi, hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena rentang waktu (temporal) antara prasasti itu dibuat dengan saat ditemukan sangat panjang sekali.
Lima prasasti tersebut dapat anda temui di Museum Balaputera Dewa Palembang, tepatnya di Gedung Pameran II. Hanya saja yang anda jumpai di Museum Balaputera Dewa itu adalah replikanya saja karena prasasti yang asli berada di Museum Nasional Jakarta.
Demikianlah lima prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang telah ditemukan. Walau belum masih ada prasasti yang belum berhasil dibaca tetapi keberadaan prasasti-prasasti tersebut telah menjadi penguat alasan untuk menjadikan Palembang, sampai saat ini, sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Namun demikian, berbicara mengenai sejarah klasik biasanya selalu memunculkan kemungkinan-kemungkinan sehingga jika ditemukan informasi (fakta) terbaru tentu saja akan mungkin melahirkan kesimpulan yang berbeda atau malah akan makin menguatkan kesimpulan yang terdahulu.(DMT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar