Oleh: DM. Thanthar
Andai gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi berjumlah lebih besar daripada penghasilan petani di pedesaan akankah antusiasme menjadi caleg masih tinggi?
Dalam sebuah obrolan lepas saya bersama kawan-kawan Komunitas Guwo pertanyaan seperti itu pernah muncul. Pertanyaan yang agak konyol tetapi ketika dibaca berulang kali malah menjadi sebuah pertanyaan yang menarik.
Ketika masa kampanye, rata-rata caleg memperlihatkan itikad baik mereka dengan memberikan bantuan kepada rakyat sehingga seolah-olah mereka adalah calon-calon wakil rakyat yang memiliki jiwa pengabdian dan rela berkorban untuk rakyat. Mereka rela mendatangi rakyat dan mengorbankan sebagian hartanya untuk membantu rakyat. Hanya saja, pasca pemilihan legislatif (pileg) banyak caleg yang menjemput lagi bantuan yang pernah diberikannya. Bahkan tidak hanya menjemput tetapi juga ada yang melakukan pembongkaran jalan yang dibangunnya pada masa kampanye.
Tragis memang perlakuan para caleg yang tidak siap kalah terhadap masyarakat padahal jika mereka benar-benar ingin mengabdi kepada rakyat hal itu akan menjadi tabungan simpati rakyat untuk lima tahun mendatang. Menyikapi kondisi itu muncul lagi dugaan baru bahwa sebenarnya pertarungan caleg menuju gedung dewan adalah bagian lain dari usaha yang berbau aji mumpung para pencari kerja bermodal.
Saat ini, rakyat telah menentukan pilihannya walaupun dari sekian ribu warga tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, etape pertama pesta demokrasi republik tahun 2009 hampir usai karena sampai saat ini KPU masih melakukan rekapitulasi secara manual dan nama-nama caleg terpilih pun belum diumumkan secara resmi. Namun demikian, pemberitaan media massa telah mengeluarkan prediksi tentang caleg terpilih. Prediksi tersebut cukup mengejutkan karena gedung dewan akan diduduki oleh wajah-wajah baru.
Tampaknya, rakyat telah muak dengan sejumlah politisi yang sekian lama mendapat kepercayaan tetapi tidak mampu menyuarakan keinginan rakyat. Wajah-wajah baru, seharusnya mengoncangkan gedung dewan dengan pemikiran-pemikiran baru yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Akan tetapi penting juga untuk diwaspadai bahwa wajah-wajah baru dapat pula menjadi ‘boomerang’ terhadap perujudan impian rakyat ketika mereka tidak belajar dari sejarah hitam gedung dewan sehingga kesalahan-kesalahan baru dengan pola lama kembali mereka lakukan.
Wajah-wajah baru anggota dewan harus memiliki semangat baru untuk perbaikan bukannya semangat baru untuk menggerogoti hak rakyat, menyelewengkan uang negara, sibuk meningkatkan tunjangan pribadi, bahkan sampai pada memelihara gundik alias main perempuan. Jika itu terjadi maka porakporandalah harapan dan impian rakyat yang mereka titipkan di pundak wakil rakyat.
Sepak terjang penghuni baru gedung dewan akan dapat disimak ketika mereka mulai dilantik dan mengucapkan sumpah jabatan. Kolaborasi antara wajah-wajah baru dengan wajah-wajah lama yang masih memperoleh kepercayaan rakyat akan mendapat penilaian rakyat. Akankah mereka mampu menjadi pemimpin rakyat yang memahami bahwa memimpin adalah jalan menderita? Akankah mereka berani berkorban untuk rakyat? Jika mereka masih menyenangi segala fasilitas yang mewah berarti harapan rakyat hanya ibarat jauh panggang dari pada api. Dan, pemilu akan beralih dari seleksi wakil rakyat menjadi lapangan kerja bagi mereka yang bermodal. Akibatnya, sesampainya di gedung dewan mereka akan berupaya melakukan serangkaian cara untuk balik modal. Begitulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar