Oleh: DM. Thanthar
9 April 2009 telah berlangsung Pemilihan Legislatif (Pileg). Artinya, etape pertama pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini telah berlalu. Pada etape pertama tersebut, rakyat telah menentukan wakil-wakilnya yang diharapkan bisa mengeluarkan kebijakan yang memihak rakyat sekaligus mengawal proses pemerintahan hingga 2014. Berbagai persoalan pun mencuat, mulai dari hiruk pikuk masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga heboh saat penetapan caleg terpilih.
Meskipun pelaksanaan pileg masih menyisakan berbagai persoalan yang dinilai oleh beberapa kalangan sebagai carut marut demokrasi tetapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara resmi pesta demokrasi tetap harus terus bekerja. Mereka harus mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) sebagai etape kedua proses demokrasi.
Tidak hanya KPU, pasangan capres dan cawapres pun sibuk mempersiapkan diri menyongsong 8 Juli. Suhu perpolitikan di negeri ini pun makin menghangat. Berbagai kegiatan politik terjadi, seperti lobi-lobi politik mencari kawan koalisi sekaligus memetakan kekuatan untuk sebuah kemungkinan pencapaian target yakni menang dan berkuasa.
Awalnya, cukup banyak tokoh yang menyatakan niat dan kesediaannya menjadi capres namun perkembangan lobi politik sebagai dampak hasil pileg pun bicara. Hasil pileg secara tidak langsung memang telah mengerucutkan persoalan tentang capres tetapi proses koalisi dan penetapan cawapres tetap berlangsung dengan alot. Akhirnya, hanya tiga pasang capres dan cawapres yang bertahan dari seleksi alam politik. Tiga pasang capres dan cawapres tersebut pun mendeklarasikan kesiapannya untuk maju menuju kursi RI 1 dan RI 2.
Pasangan yang akan bertarung menuju istana negara sudah jelas. Jusuf Kalla (JK) yang sebelumnya, bahkan sampai Oktober nanti, mendampingi Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai wakil presiden menyatakan kesiapannya menjadi calon presiden Republik Indonesia untuk periode 2009-2014. Ia begerak cepat, Wiranto yang juga berkeinginan menjadi salah satu kandidat presiden dari Partai Hanura akhirnya menyatakan kesediaannya mendampingi JK sebagai calon wakil presiden. Mereka pun menjadi pasangan capres-cawapres pertama yang melakukan deklarasi. Lebih cepat lebih baik, demikian semboyan yang mereka usung.
Gerak cepat JK-Wiranto disusul oleh SBY dengan menggandeng Boediono sebagai cawapres. Unik memang, dari sekian nama yang diajukan oleh partai politik yang berkoalisi dengan Partai Demokrat, SBY malah memilih tokoh non partai. Akibatnya, pro kontra dalam koalisi Demokrat pun mencuat. Biduk koalisi Demokrat seakan hendak pecah dan terberai. Namun lobi-lobi politik mampu meredam kegelisahan itu dan SBY-Boediono resmi menjadi kandidat capres-cawapres yang akan diusung Partai Demokrat berserta mitra koalisinya. Deklarasi pasangan SBY-Boediono yang dilangsungkan di Bandung dihadiri sekitar 21 partai politik.
Kandidat capres-cawapres yang ketiga adalah pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Dua nama yang sama-sama kuat keinginannya menjadi capres. Bahkan jelang hari akhir pendaftaran capres-cawapres, penetapan formasi Mega-Prabowo atau Prabowo-Mega masih berlangsung dengan alot. Seolah-olah tidak ada yang akan mengalah untuk menempati posisi RI 2. Akhirnya, Prabowo mengalah, formasi Mega-Prabowo menjadi keputusan final dari pergulatan lobi politik yang paling lama dibanding dua capres-cawapres lainnya. Mereka pun mendaftar ke KPU, meski belum melakukan deklarasi. Deklarasi Mega-Prabowo baru dilakukan pada hari Minggu (24/5) di Bantar Gebang.
Begitulah, ijab kabul partai politik di negeri ini kembali terjadi untuk yang kesekian kalinya. Tiga pasang pengantin politik itu pun menjalani tes kesehatan. Sekitar 46 dokter terbaik negeri ini dipersiapkan KPU. Rakyat tentunya berharap, tim dokter yang memeriksa kesehatan capres-cawapres benar-benar independen dan profesional dalam melakukan tugasnya. Jangan sampai terpengaruh pula oleh virus-virus politik yang akan memunculkan manipulasi data hasil tes kesehatan calon pemimpin negeri ini.
Tes kesehatan memang sangat dibutuhkan karena negeri ini membutuhkan pemimpin yang sehat. Sehat jasmani dan rohani, sehat jiwa dan raga. Pemimpin yang tidak sehat tentu sangat mustahil menyehatkan pertiwi yang masih demam, kalau terlalu buruk dikatakan menderita penyakit kronis karena sampai saat ini republik kita yang tercinta masih menjadi salah satu negara yang mengalungi medali korupsi secara internasional.
Korupsi memang harus menjadi musuh bersama dan perlu diantisipasi. Salah satu langkah antisipasi adalah dengan melakukan pemeriksaan aset dan kekayaan para calon pemimpin, termasuk capres-cawapres. Mereka wajib melaporkan kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat mandat untuk melakukan pemeriksaan dan klarifikasi harta kekayaan capres-cawapres. Hasilnya, rata-rata kekayaan pasangan capres-cawapres berjumlah milyaran rupiah. Meskipun belum ada pengumuman resmi dari KPK dan KPU, tetapi sejumlah media massa telah melansir beberapa perkiraan jumlah harta kekayaan capres-cawapres.
JK diperkirakan memiliki kekayaan mencapai 300 milyar rupiah dan Wiranto sekitar 81 milyar rupiah. SBY memiliki aset dan kekayaan sekitar 7,1 hingga 7,6 milyar rupiah dan Boediono 22 milyar rupiah. Kekayaan Megawati diperkirakan berjumlah 105,8 milyar rupiah dan Prabowo Subianto disebut-sebut sebagai orang terkaya dengan jumlah kekayaannya sekitar 1,7 trilyun rupiah. Memang, jumlah kekayaan yang tercantum di atas bukan merupakan angka pasti tetapi andai pun jumlahnya kurang dari itu kekayaan capres dan cawapres tidak akan berada di bawah angka 1 milyar. Artinya, Pilpres 2009 merupakan pertarungan para milyarder.
Siapa pun yang akan terpilih negara ini tetap akan dipimpin oleh sepasang milyarder. Pertanyaannya, apakah yang dicari oleh enam milyarder tersebut? Benarkah murni berlandaskan keinginan pengabdian kepada rakyat ataukah masih ada niat menambah tumpukan kekayaan meski gaji mereka berasal dari cucur peluh dan keringat rakyat yang belum sepenuhnya lepas dari kemelaratan? Mungkinkah para milyarder mau menyisihkan harta pribadinya untuk kesejahteraan rakyat? Jika ada sang milyarder yang rela menjadi presiden tanpa gaji, tanpa korupsi, tentu sangat layak mendapat sebutan pemimpin rakyat yang benar-benar merakyat bahkan akan layak menyandang gelar pahlawan bangsa. Mustahilkah hal itu bagi para milyarder yang bertarung pada Pilpres 2009? Semoga tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar