Kingdon181 Cyber Area
Jumat, 03 Oktober 2014
“MAKTUB”
Cerpen DM. Thanthar
Senja telah menjelang, ketika lelaki itu menghentikan motornya di sebuah kedai kopi di tepi jalan. Dipesannya segelas kopi kepada seorang perempuan separuh baya yang ada di kedai itu. Dan, sambil menunggu, ia sulut sebatang rokok. Dia sengaja duduk dengan menghadap ke jendela kedai karena di bawah sana terbentang pemandangan indah sebuah danau.
Lelaki itu seolah terpukau oleh suasana senja. Bias jingga senja yang terpantul dari permukaan danau di bawah sana memang indah. Saking asyiknya menikmati keindahan itu, dia bahkan tidak sadar ketika kopi pesanannya telah berada dihadapannya. Begitu khusuknya lelaki itu menyaksikan perjalanan senja yang menjemput malam.
Tapi, sebenarnya, bukan hanya keindahan senja yang membuatnya terpukau. Ada sebuah kisah yang menyebabkan dia begitu. Janjinya kepada danau yang sedari tadi ia pandangi. Janji ketika ia akan pergi dulu, sepuluh tahun yang lalu.
***
“Aku akan pergi. Walau ku beritakan padanya tentang niat ku untuk pergi, aku yakin ia tidak akan melarangku,” ucapnya dalam hati.
Dia begitu yakin dengan dugaannya, padahal dia tidak pernah menyampaikan niatnya itu pada gadisnya. Lama dia berdiri di tepi danau. Matanya menatap lekat pada riak yang berayun-ayun membasahi kakinya. Sesaat, dia menengadahkan wajahnya ke langit. Seakan memantapkan hatinya untuk meninggalkan gadisnya bersama danau.
“Aku janji akan kembali. Jika ia adalah jodohku maka saat aku pulang ia tentu masih sendiri untuk ku,” gumamnya.
Lelaki itu berbalik. Berjalan. Pergi meninggalkan gadisnya bersama danau. Dia tidak menoleh lagi ke belakang.
***
Sekarang tinggal satu jam lagi ia akan tiba di danau. Dia berdebar-debar, sekaligus gelisah. Barangkali gadisnya telah melupakannya, sudah menikah dengan lelaki lain.
“Kalau begitu yang terjadi, tidak apa. Paling tidak aku telah menepati janjiku,” gumamnya.
“Lagi pula ia tidak pernah berjanji apa-apa dengan ku. Jadi, ia tidak perlu menanti ku yang akan datang menjemputnya,” gumamnya lagi.
“Silakan minum kopinya nak, nanti keburu dingin,” ucap perempuan separuh baya pemilik kedai yang sedari tadi memperhatikan lelaki itu.
“Oh, ya, iya etek.”
Teguran perempuan separuh baya pemilik kedai menyadarkan lelaki itu dari lamunannya. Rokok yang tadi disulutnya telah padam entah sejak kapan. Dirabanya gelas kopi yang ada di hadapannya, memang sudah dingin. Diminumnya kopi dingin itu, hanya separo. Ditatapnya lagi danau yang sudah mulai diselimuti kelam. Sebentar. Dia menarik nafas panjang. Dikeluarkannya selembar uang sepuluh ribuan dari dompetnya dan diberikannya kepada perempuan separuh baya itu.
“Kembaliannya nak!” seru perempuan pemilik kedai ketika lelaki itu hendak pergi.
Lelaki itu menoleh.
“Ambil saja etek,” jawabnya singkat. Dia pun berlalu dengan motornya.
Di bawah sana, danau makin tak terlihat. Hanya kelip lampu-lampu rumah penduduk yang berada di selingkar danau yang tampak. Seolah-olah bintang-bintang telah jatuh dari langit dan bertebaran di sepanjang tepian danau untuk menyambut lelaki yang pulang untuk menunaikan janjinya, menjemput gadisnya.
***
Lelaki itu telah berdiri di tepian danau tempat ia mengucapkan janjinya dulu. Riak danau yang berayun di kakinya tidak lagi sama. Air danau tidak lagi sebening dulu, telah keruh oleh sisa makanan ikan keramba yang tumbuh menjamur di sekeliling tepian danau.
“Aku tidak akan mengucapkan janji lagi. Cukup sekali,” gumamnya.
“Dulu aku berani mengucapkan janji karena aku yakin akan bisa memenuhi janji ku. Kini janjiku itu telah tunai. Dan aku tidak begitu yakin suatu waktu nanti bisa kembali lagi kesini,” sambungnya.
Dilepaskannya pandangan ke sekitar danau. Pandangannya terhenti pada dua tanjung yang terpisah oleh danau. Tanjung Sani dan Tanjung Sigiran, legenda kasih tak sampai sepasang anak manusia, yang menyebabkan terbentuknya danau yang dilingkungi perbukitan itu.
Seorang perempuan berkerudung biru mendekati lelaki itu. Berdiri di sampingnya. Lelaki itu tak menoleh.
“Aku masih lebih beruntung daripada mereka,” katanya.
Perempuan itu menoleh ke arah dua tanjung.
“Untung saja uda pulang tahun ini. Kalau uda pulang tahun depan mungkin akan lain ceritanya,” ucap perempuan itu.
“Dua kali saya hampir menikah, tapi selalu gagal. Dan aku pikir semua itu bukan karena uda.” Perempuan itu diam sejenak.
“Memang aku pernah ingat pada uda, tapi aku takut menyimpan rindu. Aku tidak mau mengotori hatiku. Semua jalan hidupku telah ku serahkan pada Sang Khalik. Aku sangat yakin Dia akan memberikan yang terbaik untuk ku,” sambungnya.
“Itulah maktub,” kata lelaki itu.
“Maktub?”
“Ya.”
“Maksudnya?”
“Dalam bahasa kita artinya kira-kira: Telah tertulis.”
Perempuan berkerudung biru memandang lelaki itu. Menunggu penjelasan lebih lanjut. Tapi lelaki itu hanya diam, kemudian tersenyum.
“Ah, sudahlah. Mari kita pulang,” katanya.
Digandengnya tangan gadisnya dan mereka melangkah pulang.
***
Pauah 25: 22 Nov 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar