Sabtu, 19 Mei 2012

MALU JO SOPAN NAN DIGERUS ZAMAN

 .
Oleh: DM. Sutan Zainuddin, S.S

Perlahan namun pasti rasa malu generasi muda di Ranah Minang terus digerus oleh zaman. Kondisi tersebut jelas menimbulkan rasa prihatin ditengah-tengah masyarakat. Hanya saja rasa prihatin masih terbatas semata-mata pada rasa prihatin saja. Padahal semestinya, hal yang menimbulkan rasa prihatin tersebut harus diminimalisir dengan tindakan. Tindakan perorangan jelas lemah dan tak akan mampu memberikan efek luas. Sementara tindakan kelompok akan berpotensi memunculkan konflik yang ujung-ujungnya kelompok pejuang kebenaran dikalahkan dengan tudingan melanggar Hak Asasi Manusia alias HAM. Bahkan kebijakan pemerintah dalam rangka menjaga eksistensi rasa malu pada generasi muda sekalipun masih bisa digugat dengan alasan melanggar HAM.

Beberapa hari nan lalu, ketika saya pulang kampung dan berkunjung ke rumah amak (ibu), saya bertemu dengan mamak (panggilan di Minangkabau kepada saudara laki-laki ibu). Ia bercerita tentang pengalamannya berkunjung ke Kota Padang. Awal ceritanya hanya komentar tentang perkembangan Kota Padang pasca genpa 30 September 2009. Kemudian berlanjut pada cerita tentang apa yang ia rasakan ketika berkunjung ke salah satu obyek wisata di Kota Padang yakni Pantai Padang.


Ia menuturkan bahwa ketika mengunjungi Pantai Padang ia sengaja singgah di warung dengan tenda-tenda ceper. Dalam fikirannya lokasi tersebut sangat cocok dan nyaman untuk melepas penat sambil menikmati suasana jingga senja di Pantai Padang. Saat hendak memesan minuman, rasa nyamannya mulai terganggu karena daftar menu makanan dan minuman tidak mencantumkan harga sehingga ia sebagai konsumen tentu sulit menakar batas harga yang akan dibayar. Agar tidak tertipu maka ia harus menanyakan dulu harga makanan dan minuman sebelum memesan.

Sembari menunggu pesanan datang, si Mamak saya itu melepaskan pandang pada laut dan menikmati ombak yang berkejaran menuju pantai. Ia begitu bebas menikmati suasana pantai karena beberapa tenda yang ada disekitar ia duduk masih kosong. Tak lama berselang datang serombongan muda-mudi, agaknya mereka juga ingin menikmati jingga senja yang memang cukup bagus saat itu. Awalnya si Mamak tidak begitu peduli dengan rombongan muda-mudi tersebut. Ia terus saja menikmati suasana laut pantai barat sumatera. Namun sesaat kemudian rombongan muda-mudi mulai mengambil tempat bersama pasangan masing-masing. Dan, tanpa menghiraukan sekelilingnya mereka mulai memadu kasih, tanpa peduli status mereka yang belum muhrim. Tanpa risih mereka berpelukan, padahal beberapa orang yang melihat tingkah mereka saja merasa sangat risih, apalagi si Mamak saya itu adalah orang yang mengerti aturan adat meski pun telah lama berdomisili di rantau.

Terlintas niat untuk menegur muda-mudi tersebut, namun setelah berfikir-fikir si Mamak lebih memilih menyampaikan kepada pemilik warung karena tentu akan lebih pas jika si pemilik warung yang menegur. Namun ternyata si pemilik warung pun tak berani menegur.

"Kami kan harus menghormati konsumen pak," ujar pemilik warung.

Mendapatkan jawaban tersebut si Mamak hanya tersenyum.

"Saya kan juga konsumen, apakah tidak pantas dihargai?" sindir si Mamak.

"Hal yang begitu sudah biasa disini pak. Selama ini tidak ada yang komplain selain Bapak."

"Sudah biasa..?!"

"Iya, sudah biasa."

Si Mamak pun mengalah. Ia membayar makanan dan minuman yang tadi dipesan. Lantas berlalu meninggalkan lokasi obyek wisata yang telah memberikan satu catatan baginya.

Perlahan sore pulang dan senja pun menjelang. Sang Surya mulai menyelami laut ufuk barat dan terang pun  berganti remang. Jingga masih tersisa dan rombongan muda-mudi nan duduk berpasangan-pasangan makin asyik dalam aktifitas masing-masing. Mereka lupa diri bahkan lupa akan waktu sholat maghrib

"Tidak Mamak kira ternyata generasi muda di Ranah Minang telah tak punya malu jo sopan lagi. Pantas negeri awak dilanda gempa besar," kata si Mamak mengungkapkan rasa prihatinnya kepada saya.

Dikisahkannya, bahwa pada zaman dia muda dulu jangankan bergandengan tangan dan berpelukan dengan perempuan yang bukan muhrim, berpegangan tangan dan berpelukan dengan istri sendiri pun tak akan berani dilakukan seseorang didepan umum. Ada rasa malu nan menyesak di dada, malu pada diri sendiri, malu pada keluarga, lebih-lebih rasa malu kepada masyarakat. Dan, sanksi sosial dari masyarakat akan membuat si pelaku merasa terasing dan ujung-ujungnya terpaksa lari dari kampung, terusir ke rantau.

***

Sepenggal pengalaman si Mamak memberikan gambaran bahwa rasa malu jo sopan dikalangan anak muda di Ranah Minang memang telah sangat memprihatinkan. Secara perlahan, prilaku yang pada masa dahulu sangat tabu sekarang menjadi biasa. Ya.. pola pembiasaan ini yang lama-kelamaan melunturkan tatanan moralitas dalam masyarakat Minangkabau. Misalnya, dahulu gadis Minangkabau selalu berbaju longgar karena yang memakai baju ketat biasanya identik dengan wanita tidak bermoral bahkan identik dengan pelacur. Pada tataran ini, masyarakat masih tidak menerima dan merasa malu jika anak gadisnya memakai pakaian seperti itu.

Saat mudik lebaran, keluarga yang ada di rantau pun pulang dengan pakaian khas kotanya. Pakaian mereka tentu saja tidak lagi sesuai dengan yang dipakai oleh orang kampung. Keberadaan mereka dengan pakaian tersebut tidak tertolak, bahkan itu menjadi salah satu simbol kesuksesan mereka di rantau. Maka secara perlahan gadis Minangkabau pun mulai mengenal berbagai jenis mode pakaian. Selain itu, ada semacam paradigma dalam masyarakat yang bermukim di kampung bahwa segala yang berbau kota adalah simbol modernisasi. Sederhananya, jika ingin dikatakan modern maka pakai dan konsumsilah apa-apa yang dipakai dan konsumsi oleh orang kota. Dan, tentu saja paradigma nan salah inilah menjadi pemicu sebuah perubahan dalam kebiasaan di Ranah Minang. Paradigma tersebut membuat masyarakat Minangkabau mulai terbiasa, dan ketika anak gadis mereka memakai pakaian yang dulunya tabu mereka tidak lagi melarang meski juga tidak menyarankan.

Pada tahap selanjutnya, pembiasaan makin menjadi-jadi. Generasi muda yang telah tumbuh dan berkembang dalam proses pembiasaan awal tentu akan menjadi generasi tua. Mereka ini tentunya akan memperparah proses pembiasaan tersebut. Jika awalnya yang mengikuti dan menjadi obyek pembiasaan adalah generasi muda, maka pada tahap ini generasi tua pun mulai terseret arus pembiasaan. Generasi tua pada tahap ini ikut menjadi pelaku pembiasaan dan secara tidak langsung menjadi contoh bagi generasi muda. Maka makin menjadi-jadilah proses pembiasaan yang merusak tatanan nilai-nilai moral dan etika.
***
Fakta di lapangan, situs www.harianhaluan.com memberitakan 62 wanita ditangkap saat razia yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Padang dan Bukittinggi pada Kamis (17/5/2012). 52 wanita malam dijaring di Kota Padang dan 10 orang wanita malam di Bukittinggi. Wanita-wanita tersebut dijaring diberbagai lokasi seperti tempat hiburan malan, obyek wisata, bahkan rumah kost. Namun demikian, aksi razia belum mampu memberikan unsur jera karena sanksi yang didapatkan paling-paling sekedar membuat surat perjanjian dan kemudian wanita-wanita tersebut kembali dilepas. Agaknya Perda Pekat perlu dikaji ulang untuk memperkuat sanksi terhadap mereka nan melanggar. Selain itu, memperkuat sistem nilai dalam keluarga dan lingkungan pun dapat menjadi solusi dalam meminimalisir borok di wajah Ranah Minang.

Berdasarkan kondisi tersebut, tentu kita jadi bertanya-tanya, sesungguhnya ada apa dengan masyarakat Negeri Bagonjong ini? Apakah tatanan norma adat Minangkabau benar-benar sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian? Lantas akankah kita biarkan saja malu jo sopan tetap digerus zaman untuk membuktikan apakah yang terjadi dimasa depan adalah kehancuran atau kemajuan? Semua tentu berpulang kepada masyarakat Ranah Minang itu sendiri. Memang, sakali aia gadang sakali tapian barubah. Akan tetapi sebuah perubahan tentunya harus lebih baik dari masa sebelumnya. (dmt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar