Minggu, 17 Maret 2013

Aksi FPI dan Gerakan Padri di Minangkabau


DM. Sutan Zainuddin, S.S

Oleh: DM. Sutan Zainuddin, S.S

Akhir-akhir ini berbagai tindakan kekerasan seakan telah menjadi kejadian biasa dinegeri kita yang dikenal memiliki masyarakat nan sopan santun dan ramah tamah. Kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat saat ini begitu mudah tersulut emosi dan melakukan aksi kekerasan. Pelaku tindakan kekerasan tidak lagi terbatas pada kelompok tertentu melainkan telah merambah ke berbagai kalangan. Saat ini pelaku aksi kekerasan mulai dari gerombolan geng motor, ormas, sampai pada aksi koboi aparat penegak hukum. Miris memang, namun begitulah yang kini terjadi dinegeri kita.
Salah satu pelaku tindakan kekerasan yang akhir-akhir ini cukup menyita perhatian publik adalah aksi yang dilakukan oleh Ormas Front Pembela Islam (FPI). Akan tetapi, aksi yang dilakukan oleh FPI memberikan dampak yang berbeda jika dibandingkan dengan aksi yang dilakukan oleh kelompok lainnya. Jika aksi kekerasan yang dilakukan oleh geng motor dominan menuai caci maki dari masyarakat maka aksi FPI lebih memunculkan pro dan kontra. Hal itu sangat wajar karena aksi yang dilakukan oleh FPI rata-rata lebih mengarah kepada upaya pemberantasan kegiatan maksiat yang terjadi ditengah-tengah masyarakat namun tidak ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.
Jika mengamati aksi-aksi yang dilakukan FPI selama ini maka kita akan teringat kepada serentetan peristiwa yang terjadi di Minangkabau pada awal abad ke-19, yaitu ketika berlangsungnya Gerakan Padri. Aksi FPI yang merazia tempat hiburan malam, tempat perjudian, menentang terbitnya majalah berbau pornografi yang tidak sesuai dengan adat ketimuran dan Islam, menentang dan mendesak pemerintah untuk membubarkan aliran sesat yang mengaku Islam, dan tindakan-tindakan FPI lainnya memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan Gerakan Padri di Minangkabau pada masa-masa awal meskipun dasar pemikirannya dan tujuannya mungkin saja berbeda.
Pada awal abad ke-19 masyarakat Minangkabau belum mengenal istilah Padri, yang ada hanyalah istilah “Golongan Putih” dan “Golongan Hitam”. Dua istilah tersebut muncul berdasarkan warna pakaian yang digunakan oleh dua kelompok yang bertikai saat itu. Golongan Putih merupakan istilah untuk para kaum ulama karena kelompok ini selalu memakai pakaian berwarna putih ketika melaksanakan aktivitas sehari-harinya. Sementara itu, kaum adat yang dalam kesehariannya lebih sering memakai pakaian hitam disebut dengan Golongan Hitam. Antara dua golongan tersebut, Golongan Putih lebih identik disebut dengan Kaum Padri.
Pertikaian yang terjadi antara Golongan Putih dengan Golongan Hitam tersebut sesungguhnya bukanlah semata-mata konfrontasi antara adat dengan agama (baca: Islam). Golongan Hitam atau Kaum Adat juga orang yang beragama Islam dan Golongan Putih atau Kaum Padri merupakan masyarakat Minangkabau yang hidup dalam lingkungan adat Minangkabau. Hanya saja Kaum Adat umumnya menganut Islam yang beraliran Syi’ah sedangkan Kaum Padri adalah sekelompok masyarakat Minangkabau yang memeluk Islam dengan Mashab Hambali.
Islam aliran Syi’ah lebih dahulu masuk dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Aplikasi ajarannya dalam masyarakat berjalan seiring dengan nilai-nilai adat yang berlaku di Minangkabau, namun dalam perkembangannya kebiasaan-kebiasaan masyarakat (adat) terkadang lebih dominan daripada ajaran agama yang dikembangkan ulama-ulama Syi’ah. Kebiasaan-kebiasaan seperti menyabung ayam, berjudi, minum tuak sampai mabuk, dan kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam marak terjadi di kalangan masyarakat. Hal-hal tersebut sangat merisaukan sekelompok ulama muda Minangkabau penganut Mashab Hambali yang ketika itu sedang giat-giatnya meluaskan pengaruhnya di Minangkabau. Ulama-ulama muda tersebut menilai bahwa pelaksanaan ajaran Islam yang berkembang dalam masyarakat telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Sementara, menurut ulama-ulama muda, ulama-ulama Syi’ah tidak tegas dalam menanggapi dan menindak penyimpangan yang terjadi. Apalagi ketika itu tidak adanya pemisahan yang jelas mengenai aturan adat yang sesuai dan tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga adat dan agama menjadi campur aduk. Kondisi tersebut memberikan peluang berkembangnya perbuatan-perbuatan bid’ah dalam masyarakat.
Penyimpangan praktik keagamaan (bid’ah) tersebut menimbulkan rasa tidak puas dan marah dalam hati ulama-ulama penganut Mashab Hambali. Makin lama jumlah pengikut mereka makin bertambah besar, tetapi belum ada gerakan apa pun yang mereka lakukan. Mereka ini dijuluki “The Angry Ulama’s” (Ulama-ulama yang marah), namun kemarahan terhadap kondisi masyarakat yang menyimpang itu masih diredam dan disimpan dalam hati saja.
Seiring dengan makin berkembangnya kelompok Mashab Hambali, perbedaan pendapat dengan penganut aliran Syi’ah juga makin meruncing. Akan tetapi pengaruh ulama-ulama Syi’ah dalam masyarakat masih lebih kuat dibandingkan pengaruh ulama-ulama muda Mashab Hambali. Pada tahun 1830 pulanglah tiga orang haji baru ke kampung asalnya masing-masing di Minangkabau. Mereka adalah Haji Miskin berasal dari Luhak Agam (Kabupaten Agam), Haji Sumaniak berasal dari Luhak Tanah Data (Kabupaten Tanah Datar), dan Haji Piobang berasal dari Luhak Limo Puluah Koto (Kabupaten 50 Kota). Ketiga haji tersebut menganut Mashab Hambali dan mereka lah yang mengobarkan semangat The Angry Ulama’s untuk melakukan sebuah gerakan dengan tujuan membersihkan ajaran Islam di Minangkabau dari bid’ah.
Keberanian tiga haji muda tersebut dalam mengobarkan semangat gerakan moral sesuai dengan faham yang telah mereka dipelajari dari Syekh Abdul Wahab di Makkah yang dikenal dengan Faham Wahabi. Ketertarikan mereka terhadap Faham Wahabi berkaitan dengan Revolusi Wahabi  yang telah mereka saksikan selama berada di Makkah. Keberhasilan Revolusi Wahabi dalam membersihkan kegiatan agama dari pengaruh bid’ah dan menjalankan  ajaran Islam sesuai dengan Mashab Hambali memicu mereka untuk melakukan hal yang sama di Minangkabau. Apalagi kondisi masyarakat di Minangkabau sangat mendukung untuk dilaksanakannya gerakan yang mereka anggap sebagai kewajiban.
Pada tahap awal mereka hanya membentuk Pusat Pengajian di Pandai Sikek tetapi mereka mendapat respon negatif dari pemuka adat setempat dan akhirnya diusir oleh penghulu-penghulu di Padangpanjang sehingga mereka menyingkir ke Kamang. Di Kamang, mereka mendapat sambutan yang baik dari tokoh-tokoh  The Angry Ulama’s sehingga posisi mereka menjadi semakin kuat. Mereka menghimpun kekuatan di Kamang sehingga muncul delapan orang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan. Kedelapan pemimpin tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumaniak, Haji Piobang, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tuo di Cangkiang, Malin Putiah di Aia Tabik, Tuanku Pamansiangan, dan Peto Syarif di Bonjol. Peto Syarif inilah yang nantinya menjadi pimpinan Perang Padri dengan gelar Tuanku Imam Bonjol.
Setelah merasa cukup kuat, Kaum Padri mulai bergerak untuk sebuah perubahan. Kegiatan awal yang mereka lakukan selain memperkuat larangan-larangan agama yang sudah ada juga menambah dengan aturan-aturan baru sesuai dengan pemahaman mereka. Alhasil, masyarakat tidak boleh lagi menghisap candu dan merokok, dilarang berjudi dan menyabung ayam, tidak boleh minum tuak (miras), dan yang perempuan dilarang makan sirih. Semua aturan yang mereka umumkan itu diiringi dengan sanksi yang tegas dan keras.
Aturan-aturan tersebut merupakan cambukan dan ancaman bagi para penghulu dan penganut faham Syi’ah yang dulunya terbiasa dengan aturan yang longgar. Apalagi dalam menindak setiap pelanggaran terhadap aturan tersebut Kaum Padri melakukannya dengan tegas tanpa pilih kasih. Siapa pun yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi yang tegas dan keras, walaupun yang melanggar adalah keluarga mereka sendiri.
Setiap pagi para hulubalang Padri memeriksa batu tapakan di setiap rumah. Jika batu tapakan tersebut tidak basah berarti penghuni rumah tidak mengambil wudhu untuk shalat subuh atau tidak mandi junub, maka tanpa ampun penghuni rumah itu akan diseret dan dihukum. Selain itu, untuk menghilangkan kebiasaan berjudi dan menyabung ayam, Kaum Padri membakar gelanggang sabung ayam dan tempat berjudi. Akibatnya, Kaum Adat merasa tersinggung karena kegiatan menyabung ayam merupakan tradisi turun temurun dan telah ada sejak dahulunya, sehingga untuk mengubah dan menghapuskannya tidak bisa dilakukan secara sepihak melainkan harus dengan musyawarah. Kondisi tersebut makin memperuncing pertikaian antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Tindakan keras yang dilakukan oleh Kaum Padri bukanlah tindakan yang membabi buta. Sebelum melakukan suatu tindakan mereka memulainya dengan seruan melalui khotbah dan ceramah sebagai peringatan. Ketika himbauan dan peringatan tersebut diabaikan oleh masyarakat maka mereka akan melakukan tindakan dengan keras.
Pada perkembangan selanjutnya Gerakan Padri tidak lagi semata-mata berupa gerakan moral tetapi telah merambat pada persoalan politik yang pada akhirnya menjadi Perang Padri. Hal yang menarik dari konflik selama gerakan padri adalah kemenangan selalu menjadi milik pihak ketiga. Konflik agama antara Aliran Syi’ah dengan Mashab Hambali menempatkan Mashab Syafe’i sebagai pemenang. Sementara konflik politik antara Kaum Padri dengan Kaum Adat menghantarkan pihak Belanda sebagai penguasa baru di Ranah Minang.
Pola-pola tindakan yang terjadi selama Gerakan Padri itulah yang seolah-olah tumbuh kembali dan diterapkan oleh FPI. Ketika moral masyarakat Indonesia makin bobrok dan kegiatan yang berbau maksiat merajalela, FPI berseru dan bergerak untuk menghantam dan menahan laju perkembangan maksiat tersebut. Berawal dari sebuah gerakan moral, FPI terus berkembang sampai akhirnya melakukan tindakan-tindakan yang keras. Jika Kaum Padri membakar gelanggang sabung ayam dan tempat berjudi maka FPI menghancurkan bangunan yang mereka anggap sebagai sarang berkembangnya maksiat.
Akibatnya, beberapa aktivis FPI harus berurusan dengan hukum. Bahkan suara-suara yang mendesak pemerintah untuk membubarkan FPI -seperti desakan FPI agar Ahmadiyah dibubarkan- pun mencuat. Ironisnya, desakan pembubaran FPI muncul dari kalangan Islam sendiri.
Satu hal yang masih menjadi teka-teki dari perjalanan peristiwa ini adalah pihak mana yang akan mendapatkan keuntungan? Jika ketika terjadinya konflik agama pada masa Gerakan Padri di Minangkabau yang diuntungkan adalah Mashab Syafe’i, apakah pro kontra terhadap FPI juga akan menguntungkan pihak ketiga? Wallahu’alam bissawab.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar