DM. Sutan Zainuddin, S.S |
Oleh: DM. Sutan Zainuddin, S.S
Akhir-akhir ini berbagai tindakan kekerasan seakan telah menjadi kejadian
biasa dinegeri kita yang dikenal memiliki masyarakat nan sopan santun dan ramah
tamah. Kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat saat ini begitu mudah
tersulut emosi dan melakukan aksi kekerasan. Pelaku tindakan kekerasan tidak
lagi terbatas pada kelompok tertentu melainkan telah merambah ke berbagai
kalangan. Saat ini pelaku aksi kekerasan mulai dari gerombolan geng motor,
ormas, sampai pada aksi koboi aparat penegak hukum. Miris memang, namun
begitulah yang kini terjadi dinegeri kita.
Salah satu pelaku tindakan kekerasan yang akhir-akhir ini cukup menyita
perhatian publik adalah aksi yang dilakukan oleh Ormas Front Pembela Islam
(FPI). Akan tetapi, aksi yang dilakukan oleh FPI memberikan dampak yang berbeda
jika dibandingkan dengan aksi yang dilakukan oleh kelompok lainnya. Jika aksi
kekerasan yang dilakukan oleh geng motor dominan menuai caci maki dari masyarakat
maka aksi FPI lebih memunculkan pro dan kontra. Hal itu sangat wajar karena
aksi yang dilakukan oleh FPI rata-rata lebih mengarah kepada upaya
pemberantasan kegiatan maksiat yang terjadi ditengah-tengah masyarakat namun
tidak ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.
Jika mengamati aksi-aksi yang
dilakukan FPI selama ini maka kita akan teringat kepada serentetan peristiwa
yang terjadi di Minangkabau pada awal abad ke-19, yaitu ketika berlangsungnya
Gerakan Padri. Aksi FPI yang merazia tempat hiburan malam, tempat perjudian,
menentang terbitnya majalah berbau pornografi yang tidak sesuai dengan adat
ketimuran dan Islam, menentang dan mendesak pemerintah untuk membubarkan aliran
sesat yang mengaku Islam, dan tindakan-tindakan FPI lainnya memiliki pola yang
tidak jauh berbeda dengan Gerakan Padri di Minangkabau pada masa-masa awal
meskipun dasar pemikirannya dan tujuannya mungkin saja berbeda.
Pada awal abad ke-19
masyarakat Minangkabau belum mengenal istilah Padri, yang ada hanyalah istilah
“Golongan Putih” dan “Golongan Hitam”. Dua istilah tersebut muncul berdasarkan
warna pakaian yang digunakan oleh dua kelompok yang bertikai saat itu. Golongan
Putih merupakan istilah untuk para kaum ulama karena kelompok ini selalu
memakai pakaian berwarna putih ketika melaksanakan aktivitas sehari-harinya. Sementara
itu, kaum adat yang dalam kesehariannya lebih sering memakai pakaian hitam
disebut dengan Golongan Hitam. Antara dua golongan tersebut, Golongan Putih lebih
identik disebut dengan Kaum Padri.
Pertikaian yang terjadi antara
Golongan Putih dengan Golongan Hitam tersebut sesungguhnya bukanlah semata-mata
konfrontasi antara adat dengan agama (baca: Islam). Golongan Hitam atau Kaum
Adat juga orang yang beragama Islam dan Golongan Putih atau Kaum Padri merupakan
masyarakat Minangkabau yang
hidup dalam lingkungan adat Minangkabau. Hanya saja Kaum Adat umumnya menganut
Islam yang beraliran Syi’ah sedangkan Kaum Padri adalah sekelompok masyarakat Minangkabau
yang memeluk Islam dengan Mashab Hambali.
Islam aliran Syi’ah lebih
dahulu masuk dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Aplikasi
ajarannya dalam masyarakat berjalan seiring dengan nilai-nilai adat yang
berlaku di Minangkabau, namun dalam perkembangannya kebiasaan-kebiasaan masyarakat (adat) terkadang
lebih dominan daripada ajaran
agama yang dikembangkan ulama-ulama Syi’ah. Kebiasaan-kebiasaan seperti
menyabung ayam, berjudi, minum tuak sampai mabuk, dan kebiasaan-kebiasaan yang
sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam
marak terjadi di kalangan masyarakat. Hal-hal tersebut sangat merisaukan
sekelompok ulama muda Minangkabau penganut Mashab Hambali yang ketika itu
sedang giat-giatnya meluaskan pengaruhnya di Minangkabau. Ulama-ulama muda
tersebut menilai bahwa pelaksanaan ajaran Islam yang berkembang dalam
masyarakat telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Sementara,
menurut ulama-ulama muda, ulama-ulama Syi’ah tidak tegas dalam menanggapi dan
menindak penyimpangan yang terjadi. Apalagi ketika itu tidak adanya pemisahan
yang jelas mengenai aturan adat yang sesuai dan tidak sesuai dengan ajaran
Islam sehingga adat dan agama menjadi campur aduk. Kondisi tersebut memberikan
peluang berkembangnya perbuatan-perbuatan bid’ah dalam masyarakat.
Penyimpangan praktik keagamaan
(bid’ah) tersebut menimbulkan rasa tidak puas dan marah dalam hati ulama-ulama
penganut Mashab Hambali. Makin lama jumlah pengikut mereka makin bertambah
besar, tetapi belum ada gerakan apa pun yang mereka lakukan. Mereka ini
dijuluki “The Angry Ulama’s” (Ulama-ulama
yang marah), namun kemarahan terhadap kondisi masyarakat yang menyimpang itu
masih diredam dan disimpan dalam hati saja.
Seiring dengan makin
berkembangnya kelompok Mashab Hambali, perbedaan pendapat dengan penganut
aliran Syi’ah juga makin meruncing. Akan tetapi pengaruh ulama-ulama Syi’ah
dalam masyarakat masih lebih kuat dibandingkan pengaruh ulama-ulama muda Mashab
Hambali. Pada tahun 1830 pulanglah tiga orang haji baru ke kampung asalnya
masing-masing di Minangkabau. Mereka adalah Haji Miskin berasal dari Luhak Agam
(Kabupaten Agam), Haji Sumaniak berasal dari Luhak Tanah Data (Kabupaten Tanah
Datar), dan Haji Piobang berasal dari Luhak Limo Puluah Koto (Kabupaten 50
Kota). Ketiga haji tersebut menganut Mashab Hambali dan mereka lah yang
mengobarkan semangat The Angry Ulama’s
untuk melakukan sebuah gerakan dengan tujuan membersihkan ajaran Islam di
Minangkabau dari bid’ah.
Keberanian tiga haji muda
tersebut dalam mengobarkan semangat gerakan moral sesuai dengan faham yang telah
mereka dipelajari dari Syekh Abdul Wahab di Makkah yang dikenal dengan Faham Wahabi. Ketertarikan
mereka terhadap Faham Wahabi berkaitan dengan Revolusi Wahabi yang telah mereka saksikan selama berada di Makkah. Keberhasilan Revolusi Wahabi dalam
membersihkan kegiatan agama dari pengaruh bid’ah dan menjalankan ajaran Islam sesuai dengan Mashab Hambali
memicu mereka untuk melakukan hal yang sama di Minangkabau. Apalagi kondisi
masyarakat di Minangkabau sangat mendukung untuk dilaksanakannya gerakan yang
mereka anggap sebagai kewajiban.
Pada tahap awal mereka hanya
membentuk Pusat Pengajian di Pandai Sikek tetapi mereka mendapat respon negatif
dari pemuka adat setempat dan akhirnya diusir oleh penghulu-penghulu di
Padangpanjang sehingga mereka menyingkir ke Kamang. Di Kamang, mereka mendapat
sambutan yang baik dari tokoh-tokoh The Angry Ulama’s sehingga posisi mereka
menjadi semakin kuat. Mereka menghimpun kekuatan di Kamang sehingga muncul delapan
orang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Harimau
Nan Salapan. Kedelapan pemimpin tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumaniak,
Haji Piobang, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tuo di Cangkiang, Malin Putiah di Aia
Tabik, Tuanku Pamansiangan, dan Peto Syarif di Bonjol. Peto Syarif inilah yang
nantinya menjadi pimpinan Perang Padri dengan gelar Tuanku Imam Bonjol.
Setelah merasa cukup kuat, Kaum
Padri mulai bergerak untuk sebuah perubahan. Kegiatan awal yang mereka lakukan selain
memperkuat larangan-larangan agama yang sudah ada juga menambah dengan
aturan-aturan baru sesuai dengan pemahaman mereka. Alhasil, masyarakat tidak
boleh lagi menghisap candu dan merokok, dilarang berjudi dan menyabung ayam,
tidak boleh minum tuak (miras), dan yang perempuan dilarang makan sirih. Semua aturan
yang mereka umumkan itu diiringi dengan sanksi yang tegas dan keras.
Aturan-aturan tersebut
merupakan cambukan dan ancaman bagi para penghulu dan penganut faham Syi’ah
yang dulunya terbiasa dengan aturan yang longgar. Apalagi dalam menindak setiap
pelanggaran terhadap aturan tersebut Kaum Padri melakukannya dengan tegas tanpa
pilih kasih. Siapa pun yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi yang
tegas dan keras, walaupun yang melanggar adalah keluarga mereka sendiri.
Setiap pagi para hulubalang
Padri memeriksa batu tapakan di setiap rumah. Jika batu tapakan tersebut tidak
basah berarti penghuni rumah tidak mengambil wudhu untuk shalat subuh atau
tidak mandi junub, maka tanpa ampun penghuni rumah itu akan diseret dan
dihukum. Selain itu, untuk menghilangkan kebiasaan berjudi dan menyabung ayam,
Kaum Padri membakar gelanggang sabung ayam dan tempat berjudi. Akibatnya, Kaum
Adat merasa tersinggung karena kegiatan menyabung ayam merupakan tradisi turun
temurun dan telah ada sejak dahulunya, sehingga untuk mengubah dan menghapuskannya tidak bisa dilakukan
secara sepihak melainkan harus dengan musyawarah. Kondisi tersebut makin
memperuncing pertikaian antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Tindakan keras yang dilakukan
oleh Kaum Padri bukanlah tindakan yang membabi buta. Sebelum melakukan suatu
tindakan mereka memulainya dengan seruan melalui khotbah dan ceramah sebagai peringatan. Ketika
himbauan dan peringatan tersebut diabaikan oleh masyarakat maka mereka akan
melakukan tindakan dengan keras.
Pada perkembangan selanjutnya Gerakan
Padri tidak lagi semata-mata berupa gerakan moral tetapi telah merambat pada
persoalan politik yang pada akhirnya menjadi Perang Padri. Hal yang menarik
dari konflik selama gerakan padri adalah kemenangan selalu menjadi milik pihak
ketiga. Konflik agama antara Aliran Syi’ah dengan Mashab Hambali menempatkan
Mashab Syafe’i sebagai pemenang. Sementara konflik politik antara Kaum Padri
dengan Kaum Adat menghantarkan pihak Belanda sebagai penguasa baru di Ranah
Minang.
Pola-pola tindakan yang
terjadi selama Gerakan Padri itulah yang seolah-olah tumbuh kembali dan
diterapkan oleh FPI. Ketika moral masyarakat Indonesia makin bobrok dan
kegiatan yang berbau maksiat merajalela, FPI berseru dan bergerak untuk menghantam dan menahan laju perkembangan
maksiat tersebut. Berawal dari sebuah gerakan moral, FPI terus berkembang
sampai akhirnya melakukan tindakan-tindakan yang keras. Jika Kaum Padri
membakar gelanggang sabung ayam dan tempat berjudi maka FPI menghancurkan bangunan
yang mereka anggap sebagai sarang berkembangnya maksiat.
Akibatnya, beberapa aktivis
FPI harus berurusan dengan hukum. Bahkan suara-suara yang mendesak pemerintah
untuk membubarkan FPI -seperti desakan FPI agar Ahmadiyah dibubarkan- pun
mencuat. Ironisnya, desakan pembubaran FPI muncul dari kalangan Islam sendiri.
Satu hal yang masih menjadi
teka-teki dari perjalanan peristiwa ini adalah pihak mana yang akan mendapatkan
keuntungan? Jika ketika terjadinya konflik agama pada masa Gerakan Padri di
Minangkabau yang diuntungkan adalah Mashab Syafe’i, apakah pro kontra terhadap
FPI juga akan menguntungkan pihak
ketiga? Wallahu’alam bissawab.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar