Sabtu, 25 Agustus 2012

PERMAINAN TRADISIONAL NAN MAKIN LANGKA

.
Oleh: Dila Afriani, S.Pd

Sebuah mobil pick-up melaju dengan kecepatan sedang. Di bak terbuka mobil duduk beberapa orang dengan sikap siaga. Setiap mereka memegang senjata terkokang yang pelurunya siap dimuntahkan kepada siapa saja yang mereka inginkan. Mereka tidak peduli yang menjadi sasaran peluru mereka itu juga memegang senjata atau tidak. Mereka terlihat merasa gagah dengan senjata itu. Mereka juga bahagia setelah melepaskan tembakan, buktinya mereka tertawa-tawa usai menembak.

Sementara itu, di sudut-sudut rumah pemukiman rakyat juga bersiaga beberapa orang. Mereka juga bersenjata. Mereka mengintai kendaraan yang membawa rombongan bersenjata tadi. Begitu kendaraan itu lewat, maka.. dor.. dor.. mereka mulai menembak lalu lari bersembunyi di balik bangunan dan batang pohon terdekat guna menghindari peluru lawan sambil mengokang senjata. Tembak menembak pun terjadi dengan sengit. Rata-rata mereka memegang senjata jenis shotgun yang tiap kali usai menembak harus dikokang dulu sebelum memuntahkan pelurunya lagi. Lainnya, menggunakan senjata jenis pistol. Usai kendaraan yang menjadi sasaran tembak telah lewat mereka kembali bersiaga untuk melakukan serangan terhadap kendaraan berikutnya.

Kondisi di atas bukanlah cerita perang yang terjadi pada masa agresi militer Belanda di Indonesia. Juga bukan penggalan kisah perang saudara pada masa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. Kondisi itu adalah gambaran suasana yang terjadi pada Lebaran 1433 Hijriah. Pelakunya bukan tentara sungguhan dengan senjata sungguhan, melainkan anak-anak dengan senjata mainan.

Begitulah nan terjadi. Ketika peredaran dan penjualan mercon dan mainan anak-anak yang berbahan ledak mulai ditertibkan, anak-anak pun beralih pada mainan berbentuk senjata. Dan, senjata mainan tersebut dilengkapi dengan peluru. Meski hanya peluru mainan yang terbuat dari bahan plastik namun tetap berbahaya bagi anak-anak, apalagi jika sempat mengenai mata bisa berakibat fatal dan membuat buta.

Selain itu, disamping berbahaya secara fisik, yang lebih membahayakan lagi adalah dampak psikologis bagi anak-anak. Secara tidak langsung anak-anak telah mengenal cara penggunaan senjata karena cara kerja senjata mainan dibuat sedemikian rupa hingga mirip dengan aslinya. Hal ini tentu berbeda dengan permainan perang-perangan yang dilakukan oleh anak-anak pada masa dahulu, sekitar 20-30 tahun yang lalu.

Permainan perang-perangan yang dilakukan oleh anak-anak memang telah ada semenjak lama. Permainan perang-perangan ini biasanya sangat diminati oleh anak laki-laki. Anak-anak yang ada di kampung biasa melakukan perang-perangan dengan menggunakan senjata yang mereka bikin sendiri. Perang-perangan ini identik dengan musim "badia-badia". Badia-badia mereka buat dari ruas bambu kecil dan sebagai alat pendorong peluru juga berbahan bambu. 

Peluru badia-badia biasanya menggunakan kertas bekas yang dibasahi dengan air. Selain itu, putik jambu juga bisa digunakan untuk peluru. Pada dasarnya, sistem kerja badia-badia adalah dengan cara memanfaatkan tekanan udara yang ada dalam ruas bambu yang menjadi senjata. Cara kerja badia-badia ini agak mirip dengan senapan angin. Bedanya senapan angin memiliki pompa udara khusus untuk memuntahkan peluru tembaga sedangkan badia-badia menciptakan tekanan udara dengan memadatkan bahan peluru pada lubang bahagian atas badia-badia. Sementara itu, peluru lainnya telah terlebih dahulu menyumpal lubang bagian bawah badia-badia. Dengan demikian, maka udara akan terkurung di antara peluru. Ketika peluru bagian atas ditekan dengan pemicu maka tekanan udara akan makin menyesak peluru yang ada di depan sehingga... dor.. peluru bagian depan pun menghambur menuju sasaran.

Penggunaan badia-badia tentu jauh lebih aman dibanding senjata mainan yang digunakan anak-anak sekarang. Badia-badia tidak berbahaya bagi anak-anak karena kecepatan pelurunya tidak begitu tinggi. Kecepatan peluru badia-badia tentu sangat bergantung pada besar tekanan udara yang ada dalam ruas badia-badia yang tidak sampai dua jengkal orang dewasa. Dapat dibayangkan berapa jangkauan peluru yang dihasilkan oleh tekanan udara dalam ruas bambu yang kecil itu.

Kita juga menyadari bahwa masa kanak-kanak lebih cenderung dengan masa bermain, masa dimana mereka mengembangkan kreatifitas dan karakter diri. Juga merupakan masa mereka menikmati kebahagian dengan teman-teman sebaya. Namun demikian, bukan berarti kita membiarkan saja anak-anak kita terjebak pada permainan yang nantinya membentuk mereka karakter yang keras tanpa peduli pada lingkungannya. Jika anak-anak dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan permainan yang membuat mereka asik sendiri maka dapat dibayangkan mereka akan menjadi sosok yang individualis dan rendah kepedulian sosial. 

Perkembangan teknologi dan informasi jelas tidak bisa kita abaikan. Anak-anak juga perlu mengenal perkembangan teknologi dan informasi tersebut namun kontrol orang tua mesti maksimal. Anak-anak adalah aset masa depan bangsa maka peran orang tua sangat penting dalam membentuk karakter mereka. Mungkin kita sebagai orang tua sering mengeluh ketika kita merasa telah berupaya maksimal dalam mendidik anak kita di lingkungan rumah tangga namun mereka tetap saja terpengaruh oleh lingkungan. Hal ini tentu terjadi karena orang tua yang ada dalam lingkungan tersebut lebih didominasi oleh orang tua yang kurang peduli pada pembentukan karakter anak mereka. Jelas ini menjadi lingkungan yang kurang baik bagi anak-anak. 

Sesungguhnya kita yang harus menciptakan bagaimana kondisi lingkungan yang kita harapkan itu. Caranya tentu dengan membentuk semacam aturan yang menjadi kesepakatan seluruh orang tua dalam lingkungan tersebut. Jika kesepatan telah terbentuk maka penguatannya ada pada pihak pemerintah karena pemerintahlah yang berwenang dalam melakukan tindakan pencegahan secara langsung. 

Pemerintah dengan kewenangannya seharusnya bisa melindungi masyarakat, termasuk anak-anak, sehingga mereka lebih terarah pada permainan yang bermanfaat dalam menumbuhkan kreatifitas namun tidak mengkebiri kebahagian mereka sebagai anak-anak yang butuh kegembiraan dalam bermain. Untuk itu perlu kiranya pemerintah kembali memikirkan bagaimana caranya agar anak-anak lebih menyukai permainan tradisional. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melibatkan pihak sekolah tingkat dasar untuk mengenalkan kepada siswanya cara membuat dan menggunakan permainan tradisional. Pada tingkat yang lebih tinggi, pemerintah juga bisa memprogramkan semacam festival dan lomba untuk pelestarian permainan tradisional anak-anak tersebut.

Anak-anak adalah aset bangsa nan sangat berharga, mari kita ciptakan mereka menjadi calon penerus yang tangguh untuk memimpin bangsa ini. Dan, dengan kebersamaan - antara masyarakat dan pemerintah - tentu semua harapan ini bisa terwujud. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar