Oleh: Dila Afriani, S.Pd
Pada Perang
Dunia II, setelah kota Nagasaki dan Hiroshima hancur lebur oleh bom atom sekutu
maka Jepang pun dipaksa mengaku kalah. Akibatnya, Negara Jepang sangat terpukul
dan terpuruk. Hanya saja keterpurukan Jepang tidak berlangsung lama karena Kaisar
Jepang bergerak cepat dengan tekad untuk bangkit dan kembali membangun Jepang.
Dalam upaya bangkit, ternyata yang menjadi perhatian serius Sang Kaisar
bukanlah berapa jumlah prajurit yang selamat perang. Bukan pula tentang berapa
orang tokoh-tokoh penting dan orang-orang kaya yang masih tersisa, melainkan
berapa jumlah guru yang masih hidup. Pada masa bangkit dari keterpurukan itu, peran
guru ternyata sangat penting bagi Negara Jepang dan pada akhirnya keberadaan
guru memang menjadi kunci sukses kebangkitan Negara Jepang.
Apa yang
dilakukan Kaisar Jepang pasca kekalahan pada Perang Dunia II memang sangat
beralasan. Kondisi Jepang yang telah kalah perang tentu tidak akan mampu
bangkit jika hanya mengandalkan kekuatan pasukan yang masih tersisa.
Perekonomian yang terpuruk juga tidak akan bisa kembali stabil jika semata-mata
mengandalkan orang-orang kaya dan tokoh-tokoh penting. Jepang hanya bisa
bangkit oleh para guru karena merekalah yang mampu mencerdaskan anak-anak
Jepang untuk mengubah nasib bangsanya. Keberadaan guru akan mampu melahirkan kembali
pasukan-pasukan hebat, pengusaha-pengusaha sukses, dan tokoh-tokoh penting yang
akan menjadi pemimpin Jepang masa depan. Serta yang utama, para guru tentu akan
melahirkan guru-guru muda sebagai pewaris tugas dan peran guru-guru tua untuk
membentuk generasi tangguh berikutnya. Kepercayaan Kaisar Jepang terhadap guru
terbukti dengan bangkit dan suksesnya Jepang menjadi negara kecil yang maju
hingga sekarang.
Keputusan Kaisar Jepang yang menjadikan guru sebagai landasan untuk bangkit memang sangat tepat. Hanya saja, para guru yang telah memberikan perubahan yang sangat berarti bagi Jepang itu tentu bukanlah guru yang hanya sekedar pandai mengajar di kelas namun guru yang memiliki kualitas mendidik anak-anak Jepang secara total. Mendidik di kelas dengan pengetahuannya dan mendidik di luar kelas dengan keteladanan. Tentang keteladanan, guru di Jepang sangat terbantu oleh anak didik yang memiliki semangat belajar yang tinggi serta masyarakat nan memegang teguh budaya bangsanya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut membuat anak didik lebih mudah dibentuk karakternya karena prilaku yang diajarkan oleh guru di sekolah juga mereka temui dalam keseharian masyarakat Jepang itu sendiri.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pendidikan adalah gerbang dari perubahan peradaban suatu
bangsa dan guru adalah komponen penting dalam pendidikan. Sebagai komponen
penting dalam pendidikan, guru memiliki ragam tugas dan peran. Peran guru,
menurut WF. Connell (1972), ada tujuh yakni:
1. Peran guru sebagai
pendidik.
Peran sebagai
pendidik adalah peran utama seorang guru. Peran ini sejatinya tidak terbatas
atau dibatasi oleh dinding-dinding ruang dan kelas. Dalam hal ini guru
mentransfer ilmu pengetahuan, keterampilan, dan beragam nilai-nilai kehidupan
yang perlu diketahui oleh murid-muridnya. Peran ini akan bermuara pada motivasi
anak-anak muridnya untuk berusaha menemukan sendiri ilmu pengetahuan itu
sehingga mereka memiliki bekal melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
2. Peran guru sebagai
model/teladan.
Peran sebagai
model lebih mengarah pada peran sebagai sosok yang menjadi teladan bagi anak.
Peran ini sangat penting karena akan menentukan keberadaan guru dalam kehidupan
bermasyarakat. Peran ini menuntut guru harus memiliki komitmen dalam hidup.
Nilai-nilai yang diajarkan guru di kelas harus sesuai dengan prilaku
kesehariannya. Jika tidak ada kesesuaian antara nilai yang diajarkan dengan
tindakan keseharian Sang Guru maka peran guru sebagai contoh teladan menjadi gagal
dan akan berdampak pada prilaku dan karakter anak didik. Peribahasa: guru
kencing berdiri, murid kencing berlari cukup relevan dengan peran guru sebagai
model atau teladan. Teladan yang baik akan mampu meminimalisir penyimpangan dan
pelanggaran anak murid terhadap nilai, norma, dan aturan. Peran guru sebagai
model atau teladan akan makin kuat jika dilakukan bersama-sama dengan orang tua
murid dan masyarakat.
3. Peran Guru sebagai
pengajar dan pembimbing.
Peran guru
sebagai pengajar dan pembimbing merupakan peran untuk membantu anak didik menggali,
menemukan, dan membangkitkan potensi positif yang dimilikinya. Guru melakukan
bimbingan dengan tujuan meningkatkan kemampuan anak didik dalam mengembangkan
potensi yang mereka miliki tanpa rasa terpaksa sehingga akan menghasilkan
individu-individu yang mandiri dan produktif. Guru perlu memahami bahwa setiap
anak memiliki sifat dan potensi yang berbeda sehingga terkadang cara yang harus
dilakukan untuk membimbing juga harus berbeda. Sedapat mungkin guru harus
mengenali sifat dan minat anak didik agar dapat memilih cara yang tepat ketika
melakukan bimbingan untuk mengembangkan potensi dan minat mereka. Jika tidak
mengenal sifat dan minat anak didik guru akan kesulitan dalam menjalankan
perannya sebagai pengajar dan pembimbing.
4. Peran guru sebagai pelajar.
Guru perlu
memahami bahwa proses yang terjadi di kelas adalah pembelajaran, bukan
pengajaran. Artinya, yang ada di dalam ruangan kelas, termasuk guru, semuanya
sedang belajar. Pemahamam seperti ini akan menumbuhkan suasana yang lebih hidup
dibanding jika guru menempatkan dirinya sebagai sosok yang paling mengetahui
dan menganggap anak didik sebagai gelas kosong yang akan diisi. Anak didik
bukanlah gelas kosong melainkan gelas yang telah berisi dengan sistem nilai
fitrah bawaan dari lahir. Dalam proses pembelajaran, keberadaan guru adalah
sebagai tumpuan anak didik dalam menemukan kekuatan dalam dirinya. Ketika hasil
belajar tidak sesuai dengan harapan maka itulah saatnya guru belajar yakni
dengan mempelajari kondisi dan situasi kelas. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal guru tentu harus selalu mengembangkan diri dengan memperbanyak
pemahamam tentang teori-teori yang akan dipraktikkan dalam tindakan kelas.
5. Peran guru sebagai
komunikator terhadap masyarakat setempat.
Peran ini
akan lebih terasa bagi para guru yang melakukan pengabdian di daerah terpencil.
Dalam hal ini, guru tidak hanya memberikan pendidikan kepada anak didik tetapi
juga memberikan pendidikan kepada masyarakat serta harus mampu menjadi sosok
penggagas ide-ide yang membangun bagi masyarakat setempat. Peran ini akan
menempatkan keberadaan guru sebagai tonggak utama perubahan di daerah tersebut.
6. Peran guru sebagai
administrator.
Selain
melakukan pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran terhadap anak didik serta
masyarakat yang ada di lingkungan daerah pengabdiannya, seorang guru juga
dituntut mampu bekerja dengan administrasi yang teratur. Administrasi sekolah
adalah pengaturan dan pendayagunaan segenap sumber daya sekolah secara efektif
dan efisien dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga tujuan pendidikan di
sekolah akan tercapai secara optimal.
7. Peran guru sebagai sosok
yang setia terhadap lembaga.
Peran ini
lebih menekankan kepada kesetiaan terhadap lembaga dan negara. Pendidikan itu
adalah hak semua warga negara sehingga semua anak harus mendapatkan pendidikan
dengan kualitas yang sama. Untuk itu guru harus melakukan tugasnya sebagai abdi
negara yang akan mencerdaskan semua anak bangsa yang ada dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia tanpa membeda-bedakannya dengan alasan apapun.
Tujuh peran
guru tersebut, jika diterapkan dengan sungguh-sungguh oleh semua guru dan
didukung oleh para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, tentu akan mampu
menghasilkan generasi masa depan yang tangguh. Jika mau belajar pada apa yang
dilakukan oleh Kaisar Jepang pasca Perang Dunia II, tentu bangsa Indonesia juga
bisa bangkit dan sukses menjadi negara maju. Negara Jepang dengan luas sekitar 377.444
km2 dan sumber daya alam yang tidak sekaya Indonesia saja bisa menjadi negara
maju, kononlah negara besar seperti Indonesia yang kaya akan sumber daya alam. Hanya
saja, jika kita menginginkan Indonesia menjadi negara maju di masa depan, maka
kita harus segera mulai membenahi dunia pendidikan karena pendidikan sekarang
adalah cerminan generasi yang akan datang.
Kita harus
memahami bahwa tidak semua anak bangsa memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Manusia cerdas di suatu negara paling-paling hanya berkisar antara 5-10% dari
jumlah total penduduk, sedangkan sekitar 90% adalah mereka yang memiliki
kemampuan di bawah rata-rata tetapi bukan berarti bodoh. Artinya, jika selama
ini dunia pendidikan kita asyik menciptakan anak didik yang cerdas dengan beban
pelajaran yang sangat berat maka kini perlu kembali memperhatikan dan
mengoptimalkan anak didik yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata. Beban
pelajaran yang tinggi hanya akan membuat energi guru dan murid terbuang percuma
karena yang mampu mengikuti pelajaran dengan baik hanyalah anak didik yang
memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Selain itu,
meski pun volume kegiatan belajar mengajar dibuat makin tinggi tetap saja tidak
akan mampu memaksa semua anak didik menjadi ahli pemikir dan ilmuwan.
Kecerdasan tentunya bukan hanya potensi akademik saja melainkan juga meliputi
potensi keterampilan, seni, olahraga, serta kegiatan non akademik lainnya. Anak
didik yang memiliki potensi olehraga tentu akan lebih mudah menyerap dan
memahami pelajaran yang terkait dengan keolahragaan dibanding anak didik dengan
potensi matematika dan fisika. Demikian juga halnya dengan anak didik yang
memiliki potensi seni, tentu akan sangat berpeluang menghasilkan prestasi di bidang
seni dibanding anak didik yang memiliki ketertarikan terhadap ilmu pasti.
Artinya, jika kita menjadikan mata pelajaran tertentu sebagai standar kelulusan
berarti kita telah mengabaikan anak didik yang tidak memiliki potensi pada mata
pelajaran tersebut. Padahal mereka seharusnya dibantu untuk menggali dan
mengembangkan potensinya masing-masing.
Dengan
demikian, tidak dapat tidak, kita harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap
sistem pendidikan yang selama ini diterapkan agar anak didik yang memiliki
kemampuan di bawah rata-rata bisa dioptimalkan perannya dalam pembangunan
bangsa yakni dengan memaksimalkan potensi yang mereka miliki. Kita tidak dapat
memungkiri bahwa jika bagus kualitas sistem pendidikan yang kita miliki saat
ini maka akan lahirlah pemimpin-pemimpin bangsa masa depan yang hebat dan kuat.
Sebaliknya, jika kurang bagus kualitas sistem pendidikan saat ini maka akan
lemah pemimpin-pemimpin bangsa masa depan. Kita yang ada pada masa kinilah yang
menjadi penentu seperti apa kualitas pemimpin bangsa masa depan. Harapan kita
tentunya memiliki pemimpin masa depan yang tangguh dan berkualitas dengan
masyarakat yang berkarakter. Dan, dunia pendidikan adalah gerbangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar