Buya Hamka |
Oleh: DM.Thanthar
“Saya sangat terkesan pada desa kelahiran saya. Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan yang seindah Maninjau. Desa it pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada di balik keindahan itu …” (Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka)
Sekelumit Tentang Hamka
Hamka adalah nama kependekan ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia dilahirkan di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat pada tanggal 13 Muharam 1326 H bertepatan dengan tanggal 16 Februari 1908. Ayahnya bernama DR. Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) yang juga dikenal dengan Inyiak Rasul dan ibunya bernama Syafiyah.
Ketika ia lahir, ayahnya mengatakan pada neneknya bahwa Hamka akan dikirim ke Mesir agar kelak menjadi ulama.
Sepanjang hidupnya Buya Hamka tidak henti-hentinya menulis dan berpidato. Profesinya itu telah menghasilkan lebih dari 100 buku, ratusan makalah, essay, dan artikel yang tersebar dalam media massa seperti Pedoman Rakyat, Aliran Islam, Suara Partai Masyumi, Hikmah, Mimbar Agama, Panji Masyarakat, dan media-media massa lainnya. Selain itu, karya-karyanya banyak dipublikasikan melalui media elektronik seperti RRI dan TVRI.
Keluasan karya-karya Hamka sekaligus memperlihatkan keluasan minat intelektualnya. Seluruh tulisan dan karyanya dilandasi oleh semangat keislaman yang bergelora. Dengan semangatnya itu, ia juga memasuki bidang-bidang lain di luar bidang agama seperti filsafat, tasauf, kesusastraan, kebudayaan, sejarah, dan politik.
Hamka Sebagai Seorang Ulama
Segi yang sangat menarik tentang Buya Hamka adalah kepribadian dan gaya hidupnya. Beliau ramah, rendah hati, murah senyum, dan menyenangkan dalam percakapan. Bergaul dengan Hamka bisa menjadi suatu pengalaman yang sangat berkesan. Tidak sedikitpun terasa ketinggian hati atau keangkuhan dari diri beliau. Kesediaannya berdialog dan bertanya jawab adalah sifat keterbukaan jiwa Hamka yang telah dikenal luas. Oleh karena kepribadiannya itulah maka umat merasa sangat dekat dengan Masjid Agung Al Azhar yang beliau pimpin.
Karya-karya Hamka yang berkaitan dengan Agama antara lain:
Chatibul Ummah
Tasauf Modern, 1939
Lembaga Hidup, 1940
Lembaga Budi, 1940
Falsafah Hidup, 1949
Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, 1952
Lembaga Hikmat, 1953
Islam dan Kebatinan, 1972
Pandangan Hidup Muslim, 1960
Mengembalikan Tasauf ke Pangkalnya, 1942
Renungan Tasauf; Kumpulan Ceramah, 1985
Pribadi, 1950
Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, 1946
1001 Soal Hidup; Kumpulan Karangan di Pedoman Masyarakat, 1950
Soal Jawab, 1960
Di Lembah Cita-cita, 1952
Himpunan Khotbah-khotbah, 1952
Bohong di Dunia, 1952
Do’a-do’a Rasulullah SAW, 1974
Kedudukan Perempuan Dalam Islam, 1970
Muhammadiyah di Minangkabau, 1975
Mutiara Filsafat, rangkuman dari: Tasauf Modern Filsafat Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi., 1956
Mutiara Tarawih dan Idul Fitri, 1991
Akhlaqul Karimah, 1992
Beberapa Tanya Jawab Umat Islam Masa Kini
Revolusi Agama
Revolusi Islam
Revolusi Adat
Revolusi Fikiran
Dari Hati ke Hati
Di Tepi Sungai Nil
Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya
Adat Minangkabau dan Agama Islam
Perkembangan Kebatinan di Indonesia
Keadilan Ilahi
Di Dalam Lembah Kehidupan
Gairah, Cemburu
Di Dalam Lembah Cita-cita
Tafsir Al Azhar 30 Juz
Hamka Sebagai Seorang Jurnalis
Buya Hamka membangun reputasinya sebagai pengarang yang menulis berbagai hal. Selain ulama ia juga seorang wartawan dan editor di berbagai majalah. Ia juga menulis cerita pendek dan novel romantis pada masa-masa sebelum perang kemerdekaan. Prof. A. Teeaw pernah menuliskan bahwa Hamka adalah salah satu pengarang terpintar di luar kalangan kesusastraan yang resmi. Dikatakan demikian karena Hamka tidak bisa dimasukkan sebagai pengarang Angkatan Balai Pustaka. Karya Hamka awalnya muncul dalam majalah islam Pedoman Masyarakat dan cerita bersambung. Oleh karena itulah ia disebut sebagai sastrawan ‘berhaluan islam’ yang menjadikan kesusastraan sebagai sarana untuk berdakwah.
Tulisan-tulisannya pernah dimuat dalam berbagai majalah antara lain:
Khatibul Ummah, terdiri dari tiga jilid, permulaan dicetak dengan huruf Arab.
Dalam Majalah Tentara, terdiri dari empat nomor pada tahun 1932 di Makassar.
Dalam Majalah Al Wahdi, terdiri dari sembilan nomor di Makassar.
Dalam Majalah Semangat Islam pada tahun 1943.
Dalam Majalah Menara yang terbit di Padangpanjang sesudah revolusi tahun 1946.
Dalam Majalah Pedoman Masyarakat.
Dalam Majalah Mimbar Agama Departemen Agama 1950-1953.
Dalam Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1959 sampai akhir hayatnya tahun 1981.
Hamka Sebagai Seorang Sastrawan
Karya-karya sastra yang ditulis Hamka pada umumnya berupaya mengkritik pelaksanaan adat Minangkabau yang dipandangnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun karya-karya sastra Hamka adalah sebagai berikut:
Si Sabariah, merupakan roman yang dicetak dengan huruf arab tetapi berbahasa Minangkabau.
Laila Majnun.
Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Merantau ke Deli.
Mati Mengandung Malu, (terjemahan dari Manfaluthi).
Terusir.
Magaretha Gauthier.
Tuan Direktur.
Dijemput Mamaknya.
Menunggu Beduk Berbunyi.
Mandi Cahaya di Tanah Suci.
Empat Bulan di Amerika.
Mengembara di Lembah Nil.
Di Tepi Sungai Dajlah Lam.
Hamka Sebagai Seorang Sejarawan
Dibidang sejarah Hamka telah menulis beberapa buku tentang sejarah terutama mengenai sejarah umat Islam dan tulisan yang berbentuk biografi tokoh-tokoh Islam dunia.
Buku-buku sejarah karya Hamka antara lain:
Sejarah Umat Islam
Ayahku
Pembela Islam, Tarikh Abu Bakar Sidik
Ringkasan Tarikh Islam
Sejarah Islam Sumatra
Dari Perbendaharaan Lama
Fakta dan Khayal Tuanku Rao
Sayid Jamaluddin Al Afghani
Kenang-kenangan Hidup
Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman
Kenang-kenangan di Malaysia 1957
Hamka Sebagai Seorang Politikus
Ketika masih berusia 16 tahun, Hamka memutuskan merantau ke Pulau Jawa. Alasannya ketika itu karena kakak perempuannya, Fhatimah Karim Amrullah, telah berada di Pulau Jawa. Kakaknya itu ikut suaminya, Buya A.R. Sutan Mansur, yang berdagang batik di Pekalongan. Sesampainya di Pulau Jawa, Hamka menunjukkan minat untuk mempelajari politik. Ia mengikuti kursus-kursus politik yang diadakan oleh Serikat Islam. Tema-tema kursus tersebut disampaikan oleh tokoh-tokoh Serikat Islam, salah satunya H.O.S. Tjokroaminoto. Berdasarkan kursus-kursus itulah ia dapat memahami gagasan-gagasan sosialisme dalam masyarakat Islam. Hamka juga mempelajari Sosiologi dengan R.M. Suryo Pranoto dan memperdalam pengetahuan agamanya dengan H. Fakhruddin. Pada saat yang bersamaan, komunis sedang gencar menyebarkan pahamnya di Minangkabau sehingga ia dapat dengan mudah mengetahui perubahan-perubahan politik yang sedang terjadi.
Hamka juga menyaksikan tumbuhnya pertentangan-pertentangan antara golongan Islam, Marxis, dan Nasionalis Sekuler. Ia sendiri menetapkan arahnya untuk berjuang atas dasar ke-Islaman. Dengan bekal itu ia berangkat ke Pekalongan dan belajar mengenai tauhid dan ke-Islaman secara lebih mendalam, sehingga kepribadian muslim yang kuat tumbuh dalam jiwanya.
Beberapa karya Hamka yang berkaitan dengan politik:
Revolusi Agama, 1946
Negara Islam, 1946
Merdeka, 1946
Islam dan Demokrasi, 1946
Revolusi Fikiran, 1946
Dilamun Ombak Masyarakat, 1946
Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, 1946
Sesudah Naskah Renville, 1947
Urat Tunggang Pancasila, 1952
Ekspansi Ideologi (Agahazwul Fikri), 1963
Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, 1947
Revolusi Islam
Revolusi Adat
Cita-cita Kenegaraan Dalam Ajaran Islam, 1970
Falsafah Ideologi Islam
Hamka Sebagai Seorang Negarawan
Pada masa kecil Hamka tidak saja bergaul dengan orang-orang dengan dasar ke-Islaman yang kuat, tetapi juga berkawan dengan orang-orang yang paham dengan adat. Walaupun demikian, ia tidak pernah mengagung-agungkan sukunya sendiri. Latar belakang ke-Islamannya yang kuat menyebabkan ia menyadari benar arti sebuah kesukuan dan kebangsaan. Perantauannya ke Tanah Jawa tahun 1924, perjalanannya ke Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji tahun 1927, selama empat tahun menetap di Makassar dan menelusuri daerah-daerah di Sulawesi, menguatkan kesadaran Hamka tentang makna ke-Indonesiaan.
Pengalamannya sebagai negarawan antara lain:
Ketua Sekretariat Badan Pngawal Negeri dan Kota, dengan anggota: Chatib Sulaeman, Udin, Rasuna Said, dan Karim Alim. Badan ini merupakan gabungan dari semua partai yang ada saat itu serta sekalian Barisan Pejuang dalam manghadapi Class Kedua di Sumatra Barat.
Berpidato tentang peranan sastra dan kebudayaan dalam revolusi saat diadakannya rapat Persatuan Pengarang Muda Muslim (PAMI) di Bukittinggi yang diprakarsai oleh Anwar Rasyid (Putra Buya A.R. Sutan Mansur). Pada kesempatan itu Hamka juga menguraikan peran sastra dan kebudayaan Melayu Lama serta Indonesia Modern mengawali dan mengiringi pergerakan kemerdekaan.
Anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, dan
Ketua Majelis Ulama Indonesia.
*****
Sumber:Brosur Sekilas tentang HAMKA,Maninjau.
pertamaX..
BalasHapussekilas ttg buya, ane kira wajah buya yg dipajang..ternyata pikirku salah..
Yoi lah..
Anggap aja calon,,,
BalasHapus