Sabtu, 13 September 2008

KELARASAN KE-TIGA DI MINANGKABAU; Hasil Perkawinan Lareh Nan Duo



Oleh: DM. Thanthar


Alam Minangkabau dikenal dengan sebutan luhak nan tigo dan lareh nan duo. Luhak nan tigo terdiri dari Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto, sedangkan lareh nan duo adalah kelarasan Koto Piliang dan kelarasan Bodi Caniago.
Istilah luhak mengandung pengertian geografis, politik administratif, sosial ekonomis dan budaya. Sementara itu istilah lareh (laras) memiliki makna ’hukum’, yaitu tata cara adat turun temurun (MD.Mansoer,dkk: 1970).

Kelarasan Koto Piliang merupakan hasil pemikiran Datuk Katumanggungan, sedangkan kelarasan Bodi Caniago dirumuskan oleh Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Kedua datuk ini diyakini oleh masyarakat Minangkabau sebagai founding father adat di Minangkabau. Dua kelarasan tersebut merupakan kelarasan yang dianut oleh sebagian besar kaum di Minangkabau. Namun demikian, ada kaum di Minangkabau yang tidak menganut salah satu dari dua sistem kelarasan yang ada itu. Mereka tidak memakai sistem kelarasan Bodi Caniago, tetapi kelarasan Koto Piliang juga bukan. Hal itu dinyatakan dalam pantun adat: Pisang sikalek-kalek utan, pisang tambatu nan bagatah. Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo antah. (Pisang sikelat-kelat hutan, pisang tambatu nan bergetah. Koto Piliang mereka bukan, Bodi Caniago mereka entah).


Dalam melihat kondisi tersebut paling tidak akan lahir dua kemungkinan dalam fikiran kita. Pertama, kaum yang tidak menganut salah satu dari dua kelarasan yang ada itu bukanlah orang Minangkabau, melainkan orang-orang yang pendatang yang berasal dari daerah luar Minangkabau dan membangun pemukiman sendiri di salah satu wilayah Minangkabau. Kedua, kaum tersebut adalah masyarakat Minangkabau yang memiliki hukum (laras) sendiri. Artinya, ada sistem kelarasan ke-tiga yang pernah berkembang di Minangkabau.

Memang, jika kita pahami lebih jauh pantun adat di atas, kiranya kemungkinan yang kedua lebih dekat dengan maksud pantun tersebut. Kata-kata Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo antah lebih mengarah kepada sekelompok masyarakat Minangkabau yang menerapkan sistem kelarasan sendiri.

Catatan yang ada dalam tambo, dapat kita kaji lebih jauh untuk mengungkapkan bagaimana sebenarnya hukum (laras) yang dianut oleh kaum tersebut. Tambo pernah mencatat bahwa perombakan terhadap dua kelarasan yang ada pernah dilakukan oleh Datuk Sakalok Dunia (A.A. Navis: 1984). Datuk Sakalok Dunia merupakan adik kandung (seayah seibu) Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan merupakan saudara seibu Datuk Katumanggungan. Artinya, ayah dari Datuk Sakalok Dunia adalah Cati Bilang Pandai dan ibunya adalah Puti Indo Jalito. Namun demikian, dalam beberapa tambo terdapat perbedaan-perbedaan pengkisahan mengenai saudara-saudara Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Oleh sebab itu jangan heran jika dalam sebuah tambo tidak ditemui nama Datuk Sakalok Dunia.

Perombakan terhadap kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago dilakukan oleh Datuk Sakalok Dunia karena ia juga menginginkan hak yang sama dengan kedua saudaranya. Pola perombakan yang dilakukan oleh Datuk Sakalok Dunia adalah dengan cara memisahkan diri dan membentuk suku-suku baru. Suku-suku yang termasuk kedalam kelarasan yang disusun oleh Datuk Sakalok Dunia adalah Kutianyir, Patapang, Banuhampu, Salo, dan Jambak. Nama kelima suku ini diambil dari nama salonagari asal penduduk yang menjadi pengikutnya (A.A. Navis: 1984). Hasil perombakan yang dilakukannya itu dinamakan dengan kelarasan Nan Panjang.

Ciri yang menonjol dari sistem kelarasan Nan Panjang terlihat dari cara pengelompokan suku-suku dalam masyarakatnya tidak berdasarkan ajaran keagamaan, melainkan berdasarkan bangsa-bangsa atau dengan kata lain pengelompokan masyarakatnnya dilakukan menurut daerah asal.

Berdasarkan konsep tersebut, maka pengikut kelarasan Nan Panjang memiliki pantangan kawin dengan orang-orang yang sama asalnya (se-nagari) dengan mereka. Hal ini tentu berbeda dengan dua kelarasan lainnya yang memantangkan perkawinan antara orang-orang yang sesuku. Artinya, jika kelarasan Koto Piliang dan kelarasan Bodi Caniago menganggap orang-orang yang sesuku adalah bersaudara dan tidak boleh saling mengawini, maka kelarasan Nan Panjang menganggap orang-orang yang berasal dari nagari yang sama merupakan saudara yang tidak boleh pula saling mengawini.
Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dalam dasar pengelompokan masyarakatnya, namun kaum yang menganut sistem kelarasan Nan Panjang tidak sepenuhnya berbeda dengan dua kelarasan lainnya. Bukti dari pernyataan itu dapat dilihat dari tipe rumah gadang dan sistem pemerintahan yang digunakan oleh kaum pengikut Datuk Sakalok Dunia. Kaum kelarasan Nan Panjang membangun rumah gadangnya menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yakni memakai anjuang pada kedua sisi rumahnya. Sementara itu, sistem pemerintahan yang mereka terapkan dalam kehidupan bermasyarakat lebih cenderung kepada aliran Bodi Caniago, yakni mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan.

Dengan melihat pola dan corak kelarasan Nan Panjang tersebut saya pikir tidak terlalu janggal jika kelarasan Nan Panjang disebut sebagai kelarasan yang lahir dari hasil perkawinan lareh nan duo.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar