Cerpen DM. Thanthar
Nafas reformasi pun belum
mampu mengatasi kebobrokan negeri ini. Keangkuhan tembok-tembok sosial yang
memisahkan si kaya dengan si miskin makin mencakar langit. Akibatnya,
orang-orang makin mudahnya menjual moral mereka hanya untuk mencari kekayaan,
menumpuk-numpuk harta benda untuk suatu saat di pamerkan pada tamu-tamu yang
berkunjung ke rumahnya, walaupun tetangganya akan mati kelaparan.
Semakin hari, semakin banyak
makhluk yang disebut manusia itu terjerumus manjadi kaum pemuja harta, pemuja
dunia, dan menjadi budak dari apa yang mereka ciptakan sendiri. Mereka seakan
lupa akan kodratnya, lupa darimana mereka berasal dan kemana mereka akan
kembali setelah masa hidupnya yang singkat berakhir. Agaknya, bagi mereka,
setelah mati habislah perkara.
Aku tidak sepaham dengan
mereka. Bagiku, persoalan hidup tidaklah semudah itu. Lingkaran hidup makhluk
memang sederhana. Lahir, tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan
kemudian mati. Kira-kira seperti itulah lingkaran kehidupan yang utuh. Kalaupun
lingkaran kehidupan itu tidak utuh, maka tetap kematian yang menjadi muaranya.