Kingdon181 Cyber Area
Sabtu, 13 September 2008
Fenomena Maninjau dan Aturan Di Kelok 44
Oleh: DM. Thanthar
Di kelok ampek puluh ampek
Denai bamulo barangkek
Tinggalah kampuang sanak saudaro
… … …
Lagu di atas mengingatkan kita dengan Elli Kasim, seorang penyanyi Legendaris Minangkabau kelahiran Tiku. Sementara itu, bait-bait lagu akan mengingatkan kita kepada sebuah jalur perjalanan yang memiliki tikungan (baca : kelok) tajam sebanyak 44 (ampek puluah ampek) buah. Memang lagu tersebut bercerita tentang kesedihan seseorang yang akan pergi merantau, meninggalkan kampung halamannya dengan melewati kelok 44.
Kelok 44 sering sekali dikaitkan dengan daerah Maninjau. Paling tidak ini disebabkan karena kelok 44 merupakan satu-satunya jalan yang menghubungkan Bukittinggi dengan Lubuak Danau Nan Sapuluah yang lebih dikenal dengan sebutan Danau Maninjau.
Maninjau merupakan pusat kecamatan Tanjung Raya yang terletak diantara daerah darek dengan daerah rantau, karena itu tidak salah jika Buya Hamka mengatakan bahwa daerah Maninjau merupakan daerah ikua darek kapalo rantau. Dengan kondisi geografisnya yang khas, daerah Maninjau memiliki fenomena alam yang indah. Bahkan Presiden Soekarno, ketika datang ke Bukittinggi pada awal Juni 1948, menyempatkan diri mengunjungi Maninjau dan meninggalkan sebuah pantun sebagai kenang-kenangan dan penghargaannya terhadap keelokan alam Salingka Danau Maninjau. Begini bunyi pantunnya:
Jika anda memakan Pinang
Makanlah dengan Sirih yang hijau
Jika anda ke Ranah Minang
Jangan lupa datang ke Maninjau
Dua Jalur ke Maninjau
Sebenarnya ada dua jalur yang dapat ditempuh untuk bias sampai ke Maninjau, yaitu jalur Barat dan jalur Timur. Jalur Barat merupakan jalur yang menjadi pilihan utama bagi mereka yang datang dari daerah Pariaman. Jalur ini akan melewati daerah Tiku, Manggopoh, Lubukbasung, Lubuksao, kemudian akan sampai ke Maninjau. Sementara itu jalur satunya lagi adalah jalur Timur. Mereka yang datang ke Maninjau dari arah Bukittinggi akan menempuh jalur ini. Dengan menempuh jalur Timur maka kita akan melewati daerah Kototuo, Balingka, Sungailandia, Matur, Ambunpagi, Kelok 44, dan sampailah di Maninjau.
Diantara dua jalur tersebut, jalur Timur lebih disukai oleh para wisatawan, baik wisatawan nusantara (winus) maupun wisatawan mancanegara (wisman). Penyebabnya adalah rute perjalanannya menawarkan keindahan alam dan kepuasan tersendiri, apalagi saat melewati kelok 44.
Kelok 44, dengan panjang lebih kurang sebelas kilometer, memiliki tikungan-tikungan yang tajam. Dengan demikian maka para pengemudi yang akan melintasi rute ini harus benar-benar dalam kondisi yang prima. Konsentrasi pengemudi mutlak diperlukan, sebab lengah sedikit saja maka jurang-jurang terjal dan dalam sudah siap menanti.
Kendati demikian, rute kelok 44 merupakan rute yang bagus bagi mereka yang suka tantangan. Selain tikungan-tikungannya yang tajam, kondisi jalan yang cukup sempit juga menambah komplitnya tantangan unuk membuktikan kelihaian seseorang dalam mengemudikan mobil. Konon ada ujar-ujar yang mengatakan : “Jika sudah lihai menempuh kelok 44 maka tidak akan ada kesulitan ketika menempuh rute manapun di Indonesia.” Artinya, jika seseorang sudah mampu menempuh rute kelok 44 maka ia akan mampu mengatasi segala tantangan yang terdapat di rute manapun. Benarkah demikian? Tentunya perlu pembuktian terlebih dahulu sebelum ditarik sebuah kesimpulan.
Aturan Kecil Yang Berperan Besar
Fenomena alam dan keindahan Danau Maninjau merupakan daya tarik tersendiri dibalik tantangan yang ada di kelok 44. Apabila anda melewati kelok 44 pada saat cuaca cerah, maka anda akan dapat menikmati pemandangan Danau Maninjau nan elok. Bentangan Danau Maninjau yang biru terlihat jelas dari kelok 44. Daerah Sigiran dan Tanjungsani yang menjorok ke danau, yang juga terlihat dengan jelas dari kelok 44, seakan-akan memberikan pembenaraan terhadap cerita kasih tak sampai antara Siti Rinsani dengan Sigiran, yang diceritakan dalam kisah Bujang Sambilan.
Selain panorama alam Maninjau, di kelok tertentu anda juga dapat menyaksikan kera-kera jinak yang dilindungi bergerombol di pinggir jalan. Kera-kera tersebut biasanya menunggu orang-orang yang lewat menjatuhkan makanan untuk mereka. Ketika makanan tersebut sudah jatuh, maka kera-kera tersebut langsung berebutan untuk mengambil makanan itu. Gerembolan kera tersebut merupakan objek wisata fauna yang memberikan nilai tambah kepada kelok 44.
Namun dibalik semua itu, ada aturan yang sudah seharusnya menjadi perhatian bagi mereka yang menempuh kelok 44. Aturannya memang kecil, bahkan terlihat sepele. Akan tetapi jangan salah tafsir, walaupun kelihatannya sepele aturan tersebut sangat menentukan keselamatan mereka yang menempuh kelok 44. Bahkan pelanggaran terhadap aturan tersebut bias menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Aturannya sederhana saja, yaitu mendahulukan kendaraan yang dalam posisi mendaki. Artinya, ketika anda berada di kelok 44 dan dalam posisi menurun, maka anda harus jeli ketika akan memasuki setiap kelok. Ketika kendaraan anda akan memasuki kelok, pastikan tidak ada kendaraan lain yang sedang bergerak ke arah anda. Jika ada kendaraan yang sedang mendaki, maka anda harus berhenti dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk lewat terlebih dahulu. Malahan jika terlanjur basirobok di tikungan, kendaraan yang dari ataslah yang harus mundur. Jangan tanya mengapa harus demikian, karena memang seperti itulah aturan di kelok 44.
Aturan itu tidak diketahui dengan jelas kapan dimulainya. Yang jelas, aturan ini telah menjadi sebuah tradisi di kelok 44. Bagi mereka yang sudah rutin melewati kelok 44, dalam hal ini pengemudi bus umum, sangat mentaati aturan tersebut. Tetapi pengemudi kendaraan pribadi, bahkan pengemudi kendaraan pemerintah, sering melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut dengan menyerobot seenaknya di tikungan. Apakah ini berarti aturan kecil tersebut sudah tidak diperlukan? Ataukah mereka yang melanggar aturan itu belum mengetahui bahwa di kelok 44 ada aturan yang telah mentradisi?
Mudah-mudahan dengan tulisan ini mereka yang belum mengetahui aturan kecil yang ada di kelok 44 dapat mengetahui serta mentaatinya, dan untuk yang sudah mengetahui anggaplah sekedar mengingatkan saja. Hal ini sangat penting, karena dengan mentaati aturan kecil tersebut paling tidak kita sudah memberikan konstribusi yang besar terhadap berkurangnya angka kecelakaan. Dengan demikian, kelok yang dibangun pada masa kolonial Belanda itu tidak lagi menelan korban jiwa sehingga daftar korban yang menjadi tumbal kelok 44 tidak bertambah panjang.(DMT)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
sekarang, aturan kelok 44 yang dipaparkan itu tidak berlaku lagi, di kelok 9 juga demikian.
Hanya di sitinjau lauik dan silaiang yang masih bertahan dengan aturan tersebut, itupun karena ada relawan yang ngatur.
hee...
Aturan tak tertulis itu masih berlaku meski tak maksimal. Hanya angkutan umum seperti bis yang masih cukup taat aturan, kendaraan lain entah lupa atau memang benar-benar tidak mengetahui aturan tersebut. Seharusnya Dishub Agam membuat papan pengumuman di Ambun Pagi agar para sopir yang hendak menuju Maninjau dapat membaca aturan tersebut.
Posting Komentar